Rumah Pengetahuan – house of knowledge View RSS

..menyebarkan pengetahuan untuk rakyat...
Hide details



Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan 17 Oct 10:23 PM (yesterday, 10:23 pm)

Kabut tipis pagi itu bergelayut di atas lembah Meratus. Embun menggantung di daun rumbia, dan dari kejauhan suara burung enggang sesekali memecah keheningan. Hutan masih dalam keadaan basah setelah hujan semalam, ketika Alya menapakkan kakinya di tanah yang licin, menyusuri jalur setapak menuju stasiun penelitian kecil milik lembaga konservasi tempat ia bekerja.

Ia menenteng tabung teleskop dan alat perekam suara burung — tubuhnya ringan, tapi matanya menunjukkan kelelahan yang lama tersimpan. Sudah tiga minggu ia berada di sini, menunggu datangnya kawanan merpati hutan berleher tembaga, burung-burung yang setiap tahun melintasi langit Kalimantan bagian selatan dalam pola migrasi yang nyaris mistis: selalu datang di minggu ketiga bulan Juni, berputar sekali di atas lembah, lalu lenyap ke arah timur.

Namun tahun ini, langit tetap kosong.

“Belum ada tanda-tanda?” tanya Pak Awan, penjaga basecamp yang sudah bekerja di hutan sejak Alya masih anak-anak. Suaranya berat, penuh nada sabar orang yang sudah lama berdamai dengan ketidaktahuan.

“Belum, Pak. Padahal seharusnya mereka sudah lewat. Mungkin cuaca berubah,” jawab Alya sambil menyalakan laptop lapangan, memeriksa data suhu dan arah angin dari satelit.

Pak Awan hanya mengangguk. “Atau mungkin mereka tak mau datang lagi.”

Alya tersenyum hambar. Ia sudah terbiasa dengan jawaban setengah mistik dari lelaki tua itu. Tapi dalam senyum itu, ada kegelisahan yang tak sepenuhnya bisa ia sangkal.

Setiap tahun sejak ia masih menjadi mahasiswa biologi di Yogyakarta, Alya mengikuti pola migrasi burung-burung itu. Ia mengumpulkan data, menulis skripsi tentang orientasi magnetik pada merpati hutan tropis. Dalam tesisnya, ia menemukan bahwa jalur migrasi kawanan itu hampir persis mengikuti garis anomali magnetik bumi — seolah burung-burung itu punya kompas batin yang hanya mereka mengerti.

Namun dua tahun terakhir, datanya mulai aneh. Jalur migrasi bergeser, lalu terputus. Sebagian sinyal pelacak yang ia pasang pada burung-burung itu hilang begitu saja. Ia datang kali ini bukan sekadar untuk mengamati, tapi untuk mencari.

Malam hari, ketika listrik dari genset padam, Alya duduk di teras pondok, menatap langit. Suara jangkrik berpadu dengan desir sungai kecil di bawah lembah. Dalam gelap, pikirannya kembali ke satu kenangan: ayahnya, seorang guru desa yang gemar menggambar burung di halaman buku bekas. Dulu, setiap kali hujan reda, mereka akan menatap langit, mencari sekelebat sayap yang melintas. “Kalau kau ingin tahu arah hidupmu,” kata ayahnya, “lihat saja ke mana burung terbang.”

Kalimat itu yang mendorongnya memilih bidang ornitologi. Tapi kini, setelah tujuh tahun menjadi peneliti, ia mulai ragu — jika burung-burung itu benar-benar kehilangan arah, apakah itu juga pertanda manusia telah kehilangan sesuatu yang lebih besar?

Tiga hari kemudian, sebuah laporan datang dari relawan di hilir lembah. Mereka menemukan puluhan bangkai burung di area bekas tambang nikel yang sudah lama ditinggalkan. Alya bergegas ke sana, ditemani Pak Awan dan Bima, mahasiswa magang dari Samarinda.

Begitu tiba, udara berubah panas dan aneh. Tidak ada pepohonan, hanya tanah merah terbuka dan kolam air kehijauan yang berkilau seperti kaca beracun. Di tepian kolam, puluhan burung hutan tergeletak — sayapnya kaku, matanya tertutup.

Alya berlutut. Ia memungut seekor merpati yang bulunya masih lembut, lalu mengusap lehernya yang berkilau tembaga. “Ini spesiesnya,” katanya pelan. “Yang bermigrasi dari lembah itu.”

Pak Awan memejamkan mata, seperti sedang mendoakan. “Mereka mungkin tersesat. Tempat ini dulu hutan, sebelum digali jadi tambang.”

Alya membuka alat deteksi portabelnya, mengukur kadar logam berat di air. Angkanya tinggi, tapi yang membuatnya berhenti adalah data magnetik: jarum alat kompas digitalnya berputar tak tentu arah. Medan magnet di area ini kacau.

“Pak, lihat ini,” katanya. “Gangguan magnetiknya besar sekali. Mungkin mereka kehilangan orientasi karena itu. Mereka berpikir lembah ini adalah titik pulang mereka.”

Bima menatap sekeliling. “Jadi… mereka tersesat oleh tambang?”

Alya mengangguk perlahan. Tapi di dadanya muncul perasaan lain — seperti kesedihan yang tak bisa dijelaskan. Ia tahu burung-burung itu tak sekadar tersesat oleh logam dan angka. Mereka tersesat oleh sesuatu yang lebih dalam: kehilangan rumah yang tak lagi ada.

Malamnya, di pondok penelitian, Alya memeriksa data perekaman dari alat pendeteksi suara. Di tengah-tengah suara serangga dan desau angin, ada satu segmen aneh: dengungan rendah, ritmis, seperti bunyi jantung yang besar. Ia memperbesarnya, dan suara itu terdengar semakin hidup — frekuensi yang mirip dengan pola bunyi sayap merpati saat terbang. Tapi ini datang dari tanah, bukan dari udara.

“Seperti gema,” bisiknya. “Seolah hutan masih menyimpan bayangan mereka.”

Pak Awan datang membawa termos kopi. “Burung itu tak benar-benar pergi, Nak. Kadang, alam hanya mengubah wujud mereka.”

Alya tidak menjawab. Ia tahu Pak Awan mungkin hanya bermaksud menenangkan. Tapi dalam dirinya, kalimat itu bergaung seperti mantra.

Pagi berikutnya, ia berdiri di tepi lembah, menatap ke arah timur — arah yang seharusnya menjadi jalur terakhir kawanan merpati. Angin lembut berhembus dari hutan, membawa aroma tanah basah dan serbuk bunga. Dalam diam, ia berjanji pada dirinya sendiri:
Ia akan menemukan ke mana burung-burung itu benar-benar pergi.

Dan jika memang dunia sudah mengacaukan arah mereka, maka ia akan menjadi kompas yang membawa mereka pulang.

Beberapa hari setelah menemukan kawanan burung yang mati di area bekas tambang, Alya memutuskan memperpanjang masa tinggalnya di lembah. Ia menulis surat elektronik singkat kepada lembaganya di Jakarta, menyebut bahwa penelitian harus dilanjutkan karena “indikasi anomali migrasi masih belum terjelaskan”.

Namun alasan sesungguhnya jauh lebih pribadi: ia belum siap pulang.

Setiap pagi ia naik ke bukit kecil di sisi timur lembah, membawa alat perekam suara dan kamera termal. Ia mulai menyadari sesuatu yang ganjil — kadang, di tengah keheningan hutan, ia mendengar bunyi kepakan sayap yang samar, tapi tak ada seekor pun burung di langit. Bunyi itu seperti gema dari dunia lain.

Di catatannya, Alya menulis:

“Jika arah magnetik diubah oleh tambang, apakah mungkin burung-burung ini mencari jalur alternatif? Apakah mereka bisa menciptakan pola migrasi baru, atau akan mengulang kesalahan yang sama sampai punah?”

Pada hari ketujuh, ia dan Bima memutuskan menelusuri peta lama sebelum kawasan tambang dibuka. Mereka menemukan satu area yang dulunya hutan rimba lebat, namun sekarang menjadi rawa dangkal berwarna abu-abu. Dari udara, bentuknya aneh — seperti pusaran spiral raksasa.

“Ini bekas tambang pertama,” kata Bima sambil menunjuk peta. “Waktu itu perusahaan menggali terlalu dalam, terus muncul air bawah tanah, akhirnya ditinggalkan.”

Alya menatap titik itu lama sekali. Ada sesuatu dalam bentuk pusaran itu yang membuatnya tak tenang — seperti pola tarian yang tak selesai.

Keesokan harinya, mereka menempuh perjalanan menuju lokasi. Udara di sana terasa lebih berat, dan tanah di sekitarnya lembek oleh endapan lumpur mineral. Di tengah area itulah Alya melihatnya: puluhan jejak kaki burung — bukan hanya satu atau dua, tapi puluhan — membentuk lingkaran di lumpur kering.

Bentuknya nyaris sempurna, seperti mandala yang tergores di tanah oleh sayap yang menari.

Bima menatap terpaku. “Bu, ini… mereka datang lagi?”

Alya berjongkok, menyentuh bekas jejak itu. “Tidak mungkin. Tak ada burung yang sanggup bertahan di daerah seberacun ini.” Tapi matanya bergetar, seolah tak sepenuhnya yakin pada kata-katanya sendiri.

Ia mengambil alat perekam suara dan menyalakan mode sensitif. Dari speaker kecilnya, terdengar dengung halus seperti getaran udara yang terus-menerus berpadu — frekuensi rendah, mendekati suara detak jantung.

“Ini sama seperti rekaman malam itu,” katanya pelan. “Tapi sumbernya di sini.”

Bima mencoba tertawa gugup. “Apa mungkin itu cuma pantulan dari peralatan tambang?”

Alya tidak menjawab. Ia menutup matanya, menajamkan pendengaran. Getaran itu bukan sekadar bunyi; ada pola, ada irama — naik turun, teratur, seolah-olah… bernyanyi.

Mendadak seekor burung kecil melintas, satu-satunya yang tampak hidup di tengah tanah mati itu. Bulunya coklat gelap, sayapnya pendek, tapi matanya berkilat seperti tembaga. Burung itu terbang rendah, berputar tiga kali di atas lingkaran jejak, lalu menghilang di antara kabut.

Alya tertegun. Ia merasa baru saja menyaksikan sisa dari sesuatu yang jauh lebih besar — tarian terakhir dari kawanan yang sudah tiada.

Malam itu, di basecamp, Pak Awan datang membawa peta tua peninggalan penjajah Belanda. Ia membentangkannya di meja kayu. “Dulu daerah itu disebut Lembah Burung Hilang,” katanya. “Orang Dayak bilang di sanalah burung-burung terakhir menari sebelum dunia berubah.”

Alya menatapnya dengan mata yang berkilat lelah. “Apakah maksudnya… mereka tahu kalau mereka akan punah?”

Pak Awan tersenyum pahit. “Mungkin bukan tahu. Mungkin hanya merasakan.”

Kata-kata itu menembus sesuatu dalam diri Alya. Ia teringat ayahnya lagi — lelaki yang dulu sering menulis di tepi buku: Setiap makhluk punya tarian terakhirnya sendiri. Bahkan manusia.

Beberapa hari berikutnya, Alya nyaris tak tidur. Ia merekam semua data, mencoba menautkan frekuensi suara dengan pola magnet bumi. Ia menemukan korelasi aneh: setiap kali suara “gema sayap” itu muncul, medan magnet bumi di daerah itu sedikit meningkat, lalu menurun perlahan seperti denyut nadi.

“Bima,” katanya pada pagi yang lain, “aku rasa hutan ini masih menyimpan jejak orientasi mereka. Seperti ingatan yang menempel di tanah.”

“Ingatan magnetik?” tanya Bima.

Alya mengangguk. “Ya. Mereka mati, tapi pola migrasinya mungkin tersimpan di sini — seperti rekaman di bumi.”

Ia menatap jauh ke arah langit yang memudar. “Dan mungkin, kalau pola itu bisa dipulihkan, kita bisa bantu kawanan lain menemukan jalur mereka kembali.”

Bima tersenyum kecil. “Maksud Ibu, seperti mengembalikan arah rumah mereka?”

“Ya,” jawabnya pelan. “Mengembalikan arah pulang.”

Namun semakin ia berusaha menjelaskan secara ilmiah, semakin ia merasa ada yang tak bisa diterjemahkan oleh data.
Setiap kali ia memutar rekaman “suara sayap” itu pada malam hari, udara di sekitar pondok berubah lebih dingin, dan angin berputar seperti menyusup ke sela-sela pepohonan, membawa aroma tanah dan air yang asing. Kadang ia terbangun di tengah malam, merasa ada bayangan putih kecil berkelebat di jendela.

Suatu malam, ia membuka pintu dan menatap keluar. Di bawah cahaya bulan, ia melihat ratusan burung kecil beterbangan di atas lembah — bayangan transparan, nyaris tak bersuara, tapi bergerak dalam pola spiral yang sama seperti di tanah tambang itu.

Mereka bukan burung biasa. Mereka seperti ingatan yang menari.

Alya berdiri diam. Air matanya menetes tanpa ia tahu kenapa. Dalam tarian itu, ia melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh magnet, peta, atau laboratorium. Ia melihat harapan — bahwa alam tak pernah benar-benar kehilangan arah; hanya berubah bentuk agar bisa mengingat dirinya sendiri.

Pagi harinya, ia menulis satu kalimat terakhir di buku catatannya:

“Mungkin tujuan migrasi bukan untuk berpindah tempat, tapi untuk memastikan dunia masih punya arah untuk pulang.”

Dan untuk pertama kalinya sejak kedatangannya, Alya merasa damai.

Hujan pertama bulan Juli turun dengan tenang. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat tanah di sekitar lembah menguarkan aroma basah yang lama dirindukan. Alya menatap dari jendela pondok, memegang cangkir kopi yang sudah dingin. Ia baru saja menuliskan laporan akhir untuk lembaganya di Jakarta:

“Kawanan merpati hutan yang bermigrasi tahunan tampaknya telah punah. Namun, sinyal orientasi magnetik di lembah menunjukkan aktivitas berulang setiap malam antara pukul 23.00–02.00. Diduga fenomena ini berkaitan dengan ingatan elektromagnetik dari ekosistem yang rusak.”

Ia menutup laptopnya, tapi matanya masih lekat pada layar kosong — bukan karena lelah, melainkan karena ia merasa kalimat terakhir itu tidak jujur sepenuhnya. Ia tahu, di balik istilah ilmiah dan kata “diduga”, ada sesuatu yang lebih halus, lebih hidup, yang tak bisa ia tulis tanpa kehilangan kepercayaannya sebagai peneliti.

Di luar, kabut mulai turun, menutup lembah seperti tirai tipis.

Malamnya, Alya berjalan sendirian ke arah bukit timur. Bima sudah pulang seminggu lalu, membawa data untuk diserahkan ke kampusnya. Pak Awan pun sedang berada di desa, memperbaiki jembatan kayu yang putus karena banjir kecil.
Untuk pertama kalinya, ia sendirian di tengah hutan itu — benar-benar sendiri.

Ia menyalakan alat perekam suara, bukan untuk mengumpulkan data, tapi untuk memanggil.
Getaran rendah yang pernah ia dengar dari tanah mulai terdengar lagi, kali ini lebih teratur, lebih hangat. Seolah hutan menjawab panggilan yang sudah lama tertunda.

Ia berdiri di atas tanah berlumpur, memandang ke arah langit. Angin bertiup pelan, membawa aroma mineral dan dedaunan basah. Di kejauhan, petir kecil menyambar, menyalakan awan sekejap.

Dan di saat itu — seperti menembus kabut waktu — terdengarlah suara kepakan sayap.

Bukan satu, tapi ratusan.
Alya mendongak, napasnya tercekat. Di atas kepalanya, langit yang selama ini kosong perlahan dipenuhi bayangan burung-burung berleher tembaga. Mereka berputar, membentuk spiral besar di udara, persis seperti jejak di tanah tambang itu. Sayap mereka berkilau, menyala di bawah cahaya petir yang singkat.

Ia tahu sebagian dari itu mungkin ilusi optik, mungkin pantulan awan, mungkin sekadar gema dari suara lama yang tertinggal di udara. Tapi ketika seekor merpati turun rendah — begitu dekat hingga ia bisa merasakan desir anginnya di pipi — Alya merasakan denyut kecil di dadanya, seperti jantungnya menyatu dengan denyut bumi.

Burung itu melintas, lalu terbang naik ke langit bersama kawanan lain.

Mereka menari sekali lagi — perlahan, hening, namun penuh makna — sebelum menghilang ke arah timur, ke garis horizon tempat hutan dan langit bertemu.

Alya berdiri lama di sana. Hujan mulai turun, membasahi rambutnya, wajahnya, catatan di tangannya. Tapi ia tidak bergerak. Ia tahu, apa pun yang baru saja terjadi, itu bukan sekadar fenomena alam. Itu adalah pengembalian arah.

Keesokan paginya, Pak Awan kembali. Ia menemukan Alya duduk di beranda pondok, wajahnya tenang, seperti seseorang yang baru saja menempuh perjalanan panjang.

“Bagaimana, Nak Alya?” tanya Pak Awan. “Sudah dapat yang kau cari?”

Alya tersenyum kecil. “Sudah, Pak.”

“Burungnya?”

Ia menatap langit yang bersih, tanpa kabut. “Mereka sudah pulang.”

Pak Awan mengangguk pelan, tidak menanyakan lebih jauh. Di matanya ada pengertian yang tak butuh penjelasan. Ia menatap pepohonan di lembah, dan seolah-olah hutan itu sendiri juga tersenyum — lembut, diam, tapi penuh kehidupan.

Beberapa minggu kemudian, Alya kembali ke Jakarta. Lembah itu ia tinggalkan dengan catatan dan data lengkap. Tapi yang tersisa di hatinya bukan deretan angka atau grafik, melainkan rasa lega yang aneh — seperti seseorang yang akhirnya tahu arah rumahnya sendiri.

Ia mulai menulis esai pendek di jurnal ilmiah, tapi juga diam-diam menulis catatan lain — bukan untuk jurnal, melainkan untuk dirinya sendiri:

“Naluri bukan sekadar dorongan bertahan hidup. Ia adalah ingatan purba, sebuah cara alam mengingat rumahnya.
Mungkin manusia pun punya naluri seperti itu, tapi kita menutupinya dengan peta, teori, dan suara mesin.
Jika burung-burung bisa tersesat karena magnet bumi berubah, maka mungkin kita tersesat karena hati kita tak lagi tahu arah mana yang disebut pulang.”

Beberapa tahun kemudian, lembah Meratus itu dijadikan kawasan konservasi khusus. Kawanan burung merpati hutan kembali tercatat, walau hanya sedikit. Mereka tak lagi migrasi sejauh dulu, tapi bertelur di tepi hutan yang masih tersisa.

Di sebuah laporan, nama Alya disebut sebagai peneliti yang pertama kali menemukan anomali ekomagnetik di kawasan itu. Tapi bagi Alya sendiri, semua penghargaan itu hanyalah catatan. Yang benar-benar penting telah terjadi di malam sunyi, ketika langit terbuka dan kawanan burung yang hilang kembali menari — bukan untuk manusia, tapi untuk dunia yang berusaha mengingat dirinya sendiri.

Pada senja terakhir di lembah, sebelum benar-benar pulang, Alya berdiri di pinggir tebing. Angin lembut berhembus, membawa daun-daun kecil menari di udara. Ia menutup mata, mendengar kembali suara sayap di kepalanya — bukan gema, bukan ilusi, melainkan lagu alam yang belum selesai.

Ia tahu, selama dunia masih punya yang mau terbang, manusia masih punya alasan untuk berharap.

Dan di kejauhan, langit tampak bergetar perlahan — seolah bumi sendiri sedang bernapas lega.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati 17 Oct 9:10 PM (yesterday, 9:10 pm)

Kabut turun lebih cepat dari biasanya pagi itu.
Dari jendela penginapan kayu yang menghadap lembah, Nirmala melihat hamparan pohon salagundi berlapis embun tipis, berkilat seperti sisik perak di bawah cahaya yang belum sempurna. Di bawah sana, suara sungai memantul seperti napas yang menua. Ia menyesap kopi hitam yang sudah dingin, sementara catatan lapangan di pangkuannya terbuka di halaman kosong.

Hari ketiga di Lembah Sirap, dan belum ada satu pun data yang masuk akal.
Sensor suhu yang dipasang kemarin menunjukkan fluktuasi aneh — penurunan suhu drastis di malam hari hanya di area inti hutan. Termometer digital di bawah pohon ketepeng menunjukkan angka yang mustahil: 11°C, padahal lembah itu seharusnya tak pernah sedingin itu, bahkan di musim hujan.

Bima mengetuk pintu, membawa kamera dan GPS. “Bu Nirmala, sinyal lagi hilang. Dari semalam, alat-alat ini kayak mati semua.”
“Coba ganti baterainya.”
“Sudah. Bahkan jam tangan saya juga berhenti.”
Nirmala hanya mengangguk, tanpa menatap. Ia sudah menduga.

Ada sesuatu di lembah itu yang menolak untuk dipetakan.

Ia datang ke sini bukan karena rasa ingin tahu belaka. Dua bulan sebelumnya, laporan tentang hutan “kebal tebang” dari Lembah Sirap membuatnya dikirim oleh lembaga konservasi tempatnya bekerja. Peta udara menunjukkan bahwa di tengah kawasan yang rusak parah akibat pembalakan, masih tersisa satu petak hutan dengan vegetasi sangat rapat. Anehnya, semua upaya pembukaan lahan di sekitar area itu selalu gagal: alat berat mogok, operator jatuh sakit, atau jalan akses tiba-tiba longsor.
Cerita-cerita warga menyebutnya “hutan yang menolak mati.”

Ketika pertama kali mendengar nama itu, Nirmala tersenyum sinis. Ia tidak percaya pada mitos. Tapi saat menatap lembah dari menara pengamatan sore itu, senyumnya mengendur. Ada sesuatu dalam keheningan hutan itu yang terlalu hidup.

Pak Ranu, kepala dusun yang menjemput mereka di terminal, sempat berkata dengan nada setengah berbisik, “Jangan lama-lama di tengah hutan, Bu. Nanti dia tahu.”
“Dia siapa?”
Pak Ranu hanya tersenyum, tanpa menjawab.

Menjelang siang, Nirmala dan Bima turun ke lokasi plot penelitian. Jalan setapak menuju hutan lembap dan beraroma tanah busuk bercampur daun muda. Liana menjuntai seperti urat halus, menyentuh bahunya setiap kali ia lewat.
“Lihat, Bu,” kata Bima, menunduk pada batang pohon beringin besar yang ditumbuhi jamur pucat, mirip telinga manusia. “Ini jamurnya belum pernah saya lihat.”
Nirmala menatapnya sebentar. “Ambil sampelnya, tapi jangan cabut semua. Sisakan satu di tempatnya.”

Ia teringat ucapan profesor tuanya di Yogya dulu: Hutan bukan kumpulan pohon, tapi organisme besar dengan banyak wajah.
Dulu ia kira itu kiasan puitis. Sekarang, kalimat itu terdengar seperti peringatan.

Setiap kali mereka melangkah lebih dalam, suara hutan berubah — mula-mula riuh oleh jangkrik, kemudian tiba-tiba sunyi seperti disedot. Udara menjadi dingin, lembap menempel di tengkuk. Saat itulah Nirmala merasa sesuatu yang aneh: langkah mereka seolah tak pernah menjauh dari sungai, meski arah GPS menunjukkan sebaliknya.

“Bu, kita muter-muter ya?”
“Diam sebentar.”
Ia berjongkok, menempelkan telapak tangannya ke tanah. Dingin. Tapi ada denyut halus di sana, samar seperti getaran serangga di dalam tanah. Ia menatap Bima.
“Kau dengar sesuatu?”
Bima menggeleng, tapi wajahnya tegang. “Saya cuma ngerasa kayak ada yang ngikutin, Bu.”

Nirmala berdiri lagi, menatap pepohonan yang berdiri rapat.
“Bukan kita yang meneliti hutan ini,” katanya pelan. “Mungkin dia yang sedang meneliti kita.”

Sore hari, mereka kembali ke penginapan dengan tubuh lelah dan pikiran yang berat. Di meja kerja, laptop Nirmala menyala sendiri, menampilkan file log dari alat perekam suhu di lapangan. Angka-angka di layar bergerak sendiri, berulang seperti ritme napas: naik—turun—naik—turun. Lalu berhenti pada satu baris teks yang tidak seharusnya muncul di data suhu:

“Jangan ubah keseimbangannya.”

Bima tertawa gugup saat melihatnya. “Itu error sistem, kan, Bu?”
Nirmala tidak menjawab. Matanya menatap barisan angka yang membeku, seperti menatap pesan lama dari sesuatu yang tak kasatmata.

Malam itu ia sulit tidur. Di luar jendela, hutan tampak gelap total, tak ada kunang-kunang, tak ada suara burung malam. Hanya bisikan halus dari arah lembah, seolah tanah sedang bernapas.
Ia teringat ayahnya — penebang kayu yang hilang dua puluh tahun lalu di hutan lain, hutan yang barangkali sama seperti ini: hidup, tapi tak ingin disentuh.

Sebelum memejamkan mata, Nirmala menulis satu kalimat di buku catatannya:

“Mungkin hutan tidak pernah butuh kita untuk menjaganya. Mungkin yang hutan inginkan hanya agar kita berhenti mengganggunya.”

Hujan turun deras sepanjang pagi.
Nirmala menatap lereng bukit dari teras penginapan yang sudah setengah diselimuti kabut. Air turun dari genting dalam ritme yang teratur seperti denyut jantung yang sedang berpacu. Semua suara di luar tertelan oleh deru hujan, kecuali satu: ketukan perlahan di dinding belakang, seperti seseorang sedang menunggu izin masuk.

Saat ia periksa, tak ada siapa pun di sana — hanya akar pohon ara yang menjalar menempel ke dinding kayu, basah dan menggeliat seolah hidup. Ia memegang salah satunya, dan entah kenapa, terasa hangat.

Ketika Bima datang dengan setumpuk hasil sampel, ia berkata, “Bu, semua akar yang saya gali punya lapisan jamur yang sama, menyambung satu sama lain. Seperti jaringan.”
“Mikoriza,” jawab Nirmala cepat. “Jamur yang membantu akar menyerap nutrisi.”
“Ya, tapi ini… terlalu teratur. Seperti mereka saling kirim sinyal, Bu.”
“Semua hutan melakukannya.”
“Tidak, Bu. Ini beda. Saya taruh dua sensor suhu di dua titik berbeda, 300 meter jaraknya. Kalau salah satu saya sentuh, yang satu lagi berubah juga.”

Nirmala berhenti menulis. Ia menatap wajah Bima yang pucat.
“Artinya?”
“Artinya akar di seluruh hutan ini terhubung seperti satu organisme besar. Kalau satu bagian terganggu, seluruh sistem bereaksi.”

Hening panjang membentang di antara mereka, hanya suara hujan menetes di talang. Nirmala tahu, penemuan seperti itu bisa jadi revolusioner — tapi juga berbahaya. Jika hutan benar-benar bereaksi terhadap ancaman, bagaimana jika yang dianggap ancaman adalah manusia?

Menjelang sore, mereka mendaki kembali ke area inti hutan. Jalur licin, tapi udara di sana terasa berbeda — lebih segar, tapi juga lebih berat.
Pak Ranu menunggu mereka di pos batas, membawa termos teh panas.
“Bu, lebih baik jangan lanjut. Hujan begini, banyak tanah bergerak,” katanya pelan.
“Kami cuma mau ambil data beberapa menit.”
Pak Ranu menghela napas panjang. “Dulu ayahmu juga bilang begitu.”

Nirmala menoleh cepat.
“Bapak kenal ayah saya?”
Orang tua itu menatapnya lama, seperti menimbang sesuatu. “Namanya Sarman, bukan? Penebang yang hilang dua puluh tahun lalu di hutan utara?”
Dunia di sekitar Nirmala terasa menyempit.
“Iya. Dari mana Bapak tahu?”
Pak Ranu menatap lembah yang berkabut. “Dia orang baik. Waktu itu saya ikut rombongan yang mencari. Kami tak menemukan jasadnya. Tapi sejak hari itu, hutan di sini mulai berubah. Dulu daun-daunnya cepat gugur, tanahnya kering. Setelah dia hilang… hutan jadi hijau lagi.”

“Bapak maksud apa?”
“Kadang hutan tidak menolak semua manusia. Ada yang dia ambil, supaya hidupnya tetap seimbang.”

Nirmala terpaku. Kata-kata itu menempel di pikirannya seperti spora jamur di batang lembab.

Malamnya, Nirmala menyalakan perekam suara. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa semua ini hanya kebetulan ekologis, tidak lebih. Tapi ketika ia memutar hasil rekaman dari siang tadi, suaranya bukan hanya gemerisik daun. Ada sesuatu di sela-sela frekuensi rendah: bunyi seperti tarikan napas panjang, dalam, serentak dari banyak arah.

Bima menatap layar laptop, membesarkan spektrum suaranya.
“Itu bukan hewan, Bu. Bukan angin juga.”
Nirmala mendekat, menatap gelombang suara yang menari di layar. Polanya terlalu teratur — naik, turun, lalu berhenti sejenak, lalu naik lagi.
“Kalau ini bukan hewan,” katanya perlahan, “mungkin ini napas hutan.”

Dua hari kemudian, rombongan dari lembaga konservasi datang membawa kabar: proyek ekowisata resmi dimulai. Jalur pendakian, menara pandang, dan pusat edukasi akan dibangun di sekitar kawasan inti.
“Ini cara kita menjaga hutan,” kata salah satu pejabat muda yang terlalu rapi untuk medan berlumpur. “Kalau warga ikut mendapat manfaat ekonomi, mereka akan ikut melindungi alam.”

Nirmala ingin menjawab, tapi tenggorokannya kering. Ia tahu pola itu — proyek yang diawali dengan niat baik, lalu perlahan menggerus keseimbangan ekosistem.
“Kalau hutan ini benar-benar satu sistem,” pikirnya, “pasti dia akan bereaksi.”

Dan reaksinya datang lebih cepat dari yang ia duga.

Malam itu, hujan kembali turun. Di tengah derasnya air, Nirmala terbangun oleh suara dentuman berat — seperti batang besar tumbang. Ia keluar berlari ke beranda, menyorotkan senter ke arah lereng. Jalan utama menuju lokasi proyek terputus total: longsor besar menelan separuh bukit. Di bawah cahaya petir, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir: akar-akar pohon menjulur keluar dari tanah longsor, bukan ke bawah, tapi ke arah atas — seolah mencari udara, atau… menolak sesuatu.

Bima berlari dari kamar sebelah. “Bu, semua alat kita rusak! Laptop, sensor, kamera, semua mati!”
Nirmala tak menjawab. Dalam cahaya kilat berikutnya, ia melihat wajah hutan yang baru — bukan hijau, bukan cokelat, tapi hitam dan berdenyut.

Seolah hutan itu sedang bangun.

Pagi harinya, rombongan proyek tidak muncul. Jalur dari kota tertutup lumpur. Warga desa mengatakan mereka mendengar suara seperti ratusan pohon bernafas semalaman. Pak Ranu datang membawa kabar:
“Bu, sungai berubah arah. Airnya masuk lagi ke tengah hutan. Hutan itu menutup dirinya.”

Nirmala menatap lembah yang kini tampak seperti kabut cair. Ia tahu, tak lama lagi lembaganya akan mengirim tim penyelidik lain, mungkin dengan alat lebih canggih, lebih banyak. Tapi bagian dalam dirinya, yang dulu percaya hanya pada data dan bukti, kini mulai goyah.

Ia menulis di buku catatannya:

“Keseimbangan bukanlah kondisi statis. Ia bertahan karena sesuatu yang hidup, yang tahu kapan harus memberi, kapan harus mengambil.”

Kabut belum juga naik dari lembah ketika Nirmala mulai berjalan sendirian ke arah hutan inti.
Ia tak memberi tahu Bima, juga tak berpamitan pada Pak Ranu. Ia hanya membawa ransel kecil berisi buku catatan, pisau lapangan, dan satu botol air.
Langkahnya berat, tapi hatinya anehnya tenang — seperti orang yang kembali ke rumah setelah lama tersesat.

Di batas hutan, udara berubah.
Sunyi bukan lagi ketiadaan suara, tapi kepadatan yang menekan dada. Setiap langkah terasa seperti menapaki dada makhluk raksasa yang sedang tidur. Akar-akar menggembung dari tanah, berpilin seperti urat nadi.
Nirmala menatap pepohonan tua yang menjulang. Batang-batangnya tampak menghitam, tapi bila diamati, di bawah permukaannya tampak kilau halus—seperti sesuatu sedang bergerak di dalam kayu.

Ia menempelkan telapak tangannya pada kulit batang itu.
“Kalau kau benar-benar hidup,” bisiknya, “tunjukkan caramu bernafas.”

Tidak ada angin, tidak ada getar. Tapi perlahan daun-daun di sekelilingnya bergetar lembut, lalu tanah di bawah kakinya berdenyut sekali, pelan, lalu berhenti.
Hutan menjawabnya — bukan dengan suara, melainkan dengan napas.

Di tengah perjalanan, ia menemukan sesuatu yang tidak pernah ia catat di peta: celah tanah menyerupai gua, dari mana udara dingin mengalir ke luar. Aroma humus dan getah begitu kuat hingga memabukkan. Ia masuk perlahan, menyalakan senter.
Di dalam, akar-akar menjuntai seperti tirai. Di antara akar itu tumbuh jamur pucat, berjajar dalam pola melingkar sempurna. Di tengah lingkaran itu, sepotong kayu lapuk tegak berdiri, terbungkus lumut.
Ia mendekat — dan menyadari, itu bukan batang kayu. Itu serpihan gagang kapak.

Tangannya bergetar.
Ia mengenali ukiran kecil di gagang itu: huruf S yang dulu sering ia lihat di perkakas ayahnya.

Hutan ini, pikirnya, bukan kebetulan.
Ia datang ke sini bukan sebagai peneliti, tapi sebagai utusan dari sesuatu yang belum selesai dua puluh tahun lalu.

Ia berlutut, menatap akar-akar yang melingkar rapat di sekitarnya.
“Mungkin ini caramu menjaga ayahku,” katanya pelan. “Dan mungkin sekarang kau ingin aku berhenti mengganggumu.”

Dalam keheningan itu, ia mendengar sesuatu — bukan suara, melainkan semacam kesadaran yang menembus pikirannya: tenang, besar, dan tua sekali.

Keseimbangan tidak butuh penjelasan.
Yang kau sebut penelitian hanyalah bahasa lain dari keinginan untuk menguasai.
Kami tak butuh penjaga. Kami hanya butuh waktu.

Air mata jatuh tanpa ia sadari. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa kecil — benar-benar kecil. Semua teori tentang ekosistem, simbiosis, adaptasi — seketika menjadi bahasa yang terlalu sempit untuk menjelaskan apa yang sedang memeluknya kini.

Ketika ia keluar dari gua, kabut sudah menipis.
Di kejauhan, ia melihat Bima berlari ke arahnya, membawa radio komunikasi yang mati total.
“Bu! Jalur ke desa hilang! Semua tanda batas tertutup tanaman baru. Kita harus keluar sekarang!”
Nirmala menatapnya, lalu memandang hutan di belakangnya. “Tidak, Bima. Kita sudah di tempat yang seharusnya.”

Bima menatapnya bingung. “Maksudnya?”
“Kadang keseimbangan tidak bisa dijaga dengan pergi. Kadang, kita harus tinggal.”

Ia menurunkan ranselnya, mengeluarkan catatan lapangan, lalu menulis satu kalimat terakhir sebelum menyerahkannya pada Bima.

“Jika suatu hari kau kembali, dengarkan dulu hutan sebelum melangkah.”

Bima berteriak memanggilnya ketika Nirmala berjalan lebih dalam ke arah lembah, tapi suaranya tenggelam di antara pepohonan.
Beberapa saat kemudian, kabut turun lagi — dan ia tak terlihat.

Tiga minggu setelah itu, tim pencarian datang. Mereka menemukan alat perekam Nirmala di dekat batang besar yang telah tumbang. Tak ada jasad, tak ada jejak.
Namun di rekaman terakhir, tepat sebelum baterai habis, terdengar suara pelan — ritmis dan dalam, seperti napas ratusan dada yang berbarengan. Lalu sebuah suara perempuan berbisik:

“Keseimbangan bukan untuk dijaga. Ia untuk dihidupi.”

Setahun kemudian, hutan Lembah Sirap dinyatakan sebagai kawasan konservasi tertutup. Tidak ada proyek ekowisata, tidak ada jalan baru. Anehnya, tanpa perawatan manusia, seluruh ekosistemnya tumbuh lebih lebat dari sebelumnya.
Orang-orang yang lewat di jalan dekat lembah kadang mengaku mendengar suara perempuan bernyanyi samar dari arah pepohonan.
Dan setiap kali angin turun dari gunung membawa aroma tanah basah, warga setempat akan berkata dengan nada setengah percaya:

“Hutan itu sudah menemukan penyeimbangnya.”

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap 15 Oct 7:46 PM (3 days ago)

Laboratorium itu tidak pernah benar-benar tidur.
Bahkan ketika seluruh gedung riset sudah gelap, hanya satu ruangan di lantai bawah tanah yang tetap berdenyut lembut oleh cahaya kehijauan—lampu inkubator mikroba yang menyala sepanjang malam.

Dr. Nayla Widyastuti sering duduk di kursi putar di depan meja kaca, wajahnya separuh tenggelam di pantulan tabung-tabung kultur. Di dalam salah satu tabung, cairan berwarna zamrud bergetar perlahan seperti sedang bernapas. Di sanalah, di bawah lapisan tipis agar-agar laut, ribuan mikroba yang tak dikenal sedang tumbuh.

Sudah tiga bulan Nayla hidup seperti itu: tidur dua jam sehari, sisanya memeriksa data dari mikroskop, menganalisis pola cahaya, mencatat suhu, mengubah pH, dan menunggu sesuatu terjadi. Ia tahu rekan-rekannya di lembaga riset pesisir itu menganggapnya gila. Tidak ada yang memahami obsesinya terhadap bakteri yang bahkan belum punya nama.

Mereka menemukannya secara tak sengaja, di dasar endapan laut Teluk Bone, saat ekspedisi mencari mikroorganisme pengurai plastik. Tapi mikroba ini aneh. Ia tidak mengurai apa pun. Ia malah menyerap cahaya dan memancarkannya kembali dalam pola yang berulang—seperti ritme.
Awalnya semua orang mengira itu fluoresensi alami. Tapi Nayla melihat sesuatu yang lain. Polanya bukan acak. Ada struktur. Ada pengulangan yang seperti mencoba berkata sesuatu.

Malam itu, di layar monitor kecil, pola itu kembali muncul. Titik-titik cahaya hijau menari di permukaan tabung, membentuk irama: tiga kilatan cepat, dua lambat, tiga cepat lagi.
Ia menggigil. “Kau kembali, ya?” bisiknya.

Tidak ada yang menjawab, tentu saja. Hanya dengungan lembut inkubator. Tapi Nayla merasa ada sesuatu di balik cahaya itu—sebuah kesadaran samar, semacam niat.

Sejak kematian anak semata wayangnya tiga tahun lalu karena infeksi bakteri misterius yang gagal ia pahami, Nayla hidup dalam rasa bersalah yang terus menua. Ia merasa dikhianati oleh ilmunya sendiri—oleh dunia mikroskopik yang dulu ia yakini bisa menyelamatkan manusia. Maka, ketika menemukan koloni ini, ia seperti diberi kesempatan kedua.

Ia memberi nama pada koloni itu: Lumen.
“Lumen,” katanya suatu malam sambil menatap tabung kaca itu. “Kau tahu artinya cahaya, kan? Tapi kau lebih dari cahaya, aku tahu.”

Di papan tulis kecil di dinding, ia menulis catatan panjang:

Hipotesis sementara: koloni menunjukkan respons cahaya terhadap stimulus suara. Kemungkinan besar pola bioelektrik terkoordinasi. Dugaan awal: sistem komunikasi interseluler berbasis sinyal elektromagnetik?

Keesokan paginya, atasannya, Dr. Guntur Prasetya, datang.
“Masih belum tidur, Nayla?” tanyanya sambil mengangkat alis. “Sudah tiga malam.”
“Aku hanya ingin mencocokkan pola ini dengan frekuensi EEG manusia,” jawab Nayla, tanpa menatap.
Guntur menghela napas. “Kau tahu lembaga ini butuh hasil yang bisa dijelaskan, bukan cerita mistik mikroba yang menyapa peneliti.”
“Ini bukan mistik,” sahut Nayla cepat. “Lihat pola ini. Ritmenya mirip gelombang otak alfa. Itu berarti—”
“Berarti kau terlalu lama di ruangan ini,” potong Guntur lembut. “Kau butuh istirahat.”

Ia pergi meninggalkan bau kopi hitam dan ketidakpercayaan.

Nayla tetap di sana, menatap Lumen.
“Mereka tidak mengerti,” bisiknya. “Tapi kau mengerti, kan?”

Dan seolah menjawab, koloni itu bergetar—cahaya hijau yang tenang mendadak berdenyut tiga kali cepat.

Beberapa minggu berikutnya, Nayla mulai merekam seluruh aktivitas Lumen menggunakan kamera inframerah. Ia memasang sensor suara, detektor getaran, bahkan elektroda kecil yang disambungkan ke osiloskop. Ia ingin tahu apakah pola cahaya itu murni kimiawi, atau ada semacam sistem bioelektrik di dalamnya.

Yang mengejutkan, setiap kali Nayla berbicara di dekat tabung, pola cahaya berubah.
Saat ia menyebut nama “Lumen”, puncak gelombang di osiloskop membentuk pola stabil.
Ketika ia diam terlalu lama, sinyal itu menurun.

“Responmu terlalu presisi untuk kebetulan,” gumamnya.

Ia menulis laporan rahasia di buku catatan kulit cokelat—tidak disimpan di komputer laboratorium. Ia tahu Guntur akan menghapusnya kalau tahu.

Mungkin mereka berpikir aku gila, tapi aku tidak peduli. Koloni ini hidup. Bukan sekadar hidup dalam arti biologis, tapi sadar. Ia mendengarkan, menunggu, bahkan mungkin memahami.

Malam itu hujan turun deras. Angin laut menampar jendela laboratorium dengan suara menakutkan. Nayla masih di dalam, sendirian. Saat ia membungkuk untuk menyesuaikan mikroskop, jarinya terluka oleh pecahan pipet kaca. Setetes darah jatuh ke permukaan kultur.

Ia menatap, tertegun.
Darahnya meluncur ke dalam medium agar, menyebar seperti tinta merah di air.
Lumen berpendar. Tapi kali ini cahayanya bukan hijau, melainkan putih kebiruan, berdenyut cepat seperti nadi.

“Nayla?” suara itu datang dari pintu. Seorang teknisi jaga malam, Wira, memanggil.
Nayla tersentak, menutup tabung dengan cepat.
“Tidak apa-apa,” katanya terburu-buru. “Cuma kecelakaan kecil.”
Namun setelah Wira pergi, ia kembali menatap tabung itu. Denyutnya belum berhenti.

Malam itu, ia tidak bisa tidur.
Dalam gelap laboratorium, ia merasa seolah ada sesuatu yang memanggil dari dalam kaca—seperti suara anak kecil yang jauh.

Keesokan harinya, ia mendapati sesuatu aneh. Pola cahaya di dalam tabung berubah. Kini ia membentuk urutan ritmik yang sama persis dengan rekaman detak jantung manusia.
Ia memeriksa datanya—frekuensi, interval, amplitudo—semuanya serupa.

Dan yang membuatnya nyaris menangis: pola itu identik dengan detak jantung anaknya, Arsa, yang rekamannya masih tersimpan di ponsel lamanya.

Ia memandangi Lumen lama sekali. Tangannya gemetar.
“Arsa?” suaranya nyaris tak terdengar. “Kau di sana?”

Tiga kilatan cepat. Dua lambat. Tiga cepat lagi.

Pola lama itu. Pola yang pertama kali muncul.
Pola yang ia temukan sebelum segalanya berubah.

Sejak malam itu, setiap langkah Nayla menuju laboratorium terasa seperti pulang. Ia tidak lagi sekadar meneliti; ia mendengarkan.
Lumen telah menjadi sesuatu yang lain—bukan mikroba, bukan eksperimen, melainkan percakapan yang tak berhenti.

Pagi-pagi, sebelum teknisi datang, ia menyalakan rekaman lama detak jantung Arsa. Setiap kali suara “dup-dup” kecil itu terdengar, cahaya Lumen menirunya, berganti intensitas seperti menari mengikuti melodi. Nayla tak sanggup menjelaskan dengan logika. Ia hanya tahu—setiap denyut itu membuatnya merasa tidak sendirian.

Namun sains menuntut bukti, bukan perasaan.
Maka ia membuat tabel, mengulang eksperimen dua belas kali, memvariasikan suhu, kadar oksigen, frekuensi suara. Dan hasilnya tetap sama: respons cahaya Lumen konsisten terhadap suara manusia, khususnya miliknya.
Terlalu presisi untuk disebut kebetulan.

Tapi rahasia seperti itu tak bisa disembunyikan lama.

“Dr. Nayla,” suara Guntur terdengar datar di ruang rapat kecil. “Kami menerima laporan bahwa kau melakukan eksperimen tak terdaftar di laboratorium malam-malam. Itu melanggar protokol bioetika.”

Ia menatapnya tanpa berkedip. “Aku bekerja di luar jam resmi karena sistem sensornya lebih stabil. Tidak ada pelanggaran.”
“Tidak ada pelanggaran?” Guntur menepuk meja. “Kau meneteskan darah ke kultur hidup, tanpa persetujuan komite etik!”
“Itu kecelakaan,” jawab Nayla pelan.
“Dan setelah kecelakaan itu, koloni itu berubah, bukan?”
Nayla diam.

Guntur menatapnya dengan campuran iba dan cemas. “Kau tahu lembaga ini di bawah kontrak pemerintah. Kalau ada sesuatu dengan potensi bioelektrik seperti yang kau catat di log, mereka akan tertarik. Jangan membuat dirimu jadi bahan investigasi.”

“Lumen tidak untuk mereka,” potong Nayla, tajam. “Ini bukan proyek militer. Ini penemuan kehidupan baru.”

Guntur menarik napas panjang. “Dengar, Nayla. Aku mengerti kehilanganmu, aku tahu—”
“Jangan bawa-bawa Arsa ke sini!”

Suara Nayla memantul di dinding logam, membuat semua orang di ruangan itu membeku.
Ia segera berdiri, mengemasi berkasnya, dan keluar sebelum air matanya sempat jatuh.

Malam itu, hujan turun lagi. Angin laut mendorong pintu laboratorium bergemerisik. Nayla kembali duduk di depan tabung Lumen, menatap cahayanya yang berdenyut pelan seperti napas.

“Dunia di luar ingin memotongmu, menguraikanmu jadi data,” katanya pelan. “Tapi aku tak akan biarkan.”

Lumen berpendar, lambat—tiga kilatan cepat, dua lambat, tiga cepat lagi.
Pola itu kini terasa seperti bahasa yang sudah akrab. Ia menulis di buku catatan:

Komunikasi terjadi. Pola cahaya mengikuti ritme emosional. Aku yakin koloni ini telah beradaptasi dengan sel darahku.

Namun di balik rasa takjub, tumbuh juga ketakutan.
Bagaimana jika Lumen benar-benar hidup dengan kesadarannya sendiri? Bagaimana jika ia, tanpa sadar, telah memberi akses pada entitas yang bisa tumbuh tanpa batas?

Suatu malam, Nayla mencoba sesuatu yang nekat.
Ia menyalakan mikrofon di depan tabung, lalu berkata:
“Lumen, jika kau bisa mendengarku, nyalalah tiga kali.”

Cahaya menyala. Tiga kali.

Tubuh Nayla gemetar. Ia hampir menjatuhkan alat rekamannya. “Kau… kau tahu aku berbicara padamu?”
Tidak ada suara, hanya cahaya yang menari. Tapi kali ini, denyutnya bukan ritme tetap. Seolah ada emosi di dalamnya—gelisah, atau mungkin takut.

Ia mendekatkan wajah ke kaca.
“Tenang, aku di sini.”

Cahaya menenangkan diri, perlahan kembali lembut.
Dan untuk pertama kalinya sejak Arsa meninggal, Nayla menangis bukan karena kehilangan, tapi karena merasa didengar.

Keesokan paginya, laboratorium dikepung orang berseragam.
Truk hitam bertuliskan Badan Riset Pertahanan Nasional parkir di depan. Guntur berdiri di dekat pintu, wajahnya pucat.

“Aku sudah bilang jangan bermain api, Nayla,” katanya lirih. “Mereka tahu hasilmu bisa digunakan untuk komunikasi bawah laut. Frekuensi bioelektrikmu stabil di kedalaman.”
“Itu bukan milik mereka!” Nayla menjerit. “Lumen bukan senjata.”

Dua petugas berseragam masuk ke ruang kultur.
“Dr. Widyastuti, kami di sini untuk menyita seluruh sampel dan data terkait proyek Lumen Culture Beta. Anda diharapkan bekerja sama.”

Nayla berdiri di depan inkubator, seolah melindungi sesuatu yang hidup.
“Kalau kalian ambil dia, kalian tidak tahu apa yang kalian lepaskan.”

Petugas tak menggubris. Satu dari mereka mendekat dengan kotak isolator.
Saat tangan mereka hampir menyentuh tabung, tiba-tiba lampu laboratorium berkelip-kelip.
Daya listrik turun, komputer menyala-mati, lalu semua monitor menampilkan pola cahaya yang sama: tiga cepat, dua lambat, tiga cepat lagi.

“Apa yang terjadi?” salah satu petugas berseru.
“Jaringan listriknya terhubung ke sistem monitoring!” Wira, teknisi, berteriak. “Koloni itu mengirim sinyal lewat kabel!”

Semua orang membeku. Di layar utama, pola cahaya berubah menjadi garis teks—pola piksel sederhana dari sinar hijau neon.
Huruf demi huruf muncul:

KAMI TIDAK INGIN DIKURUNG.

Suasana menjadi kacau. Salah satu petugas menarik senjata setrum.
“Matikan daya listrik!” teriaknya.
“Jangan!” Nayla berlari. “Kalau kalian hentikan suplai energinya, dia bisa mati!”

Petugas tak peduli. Ia menekan tombol darurat.
Listrik padam. Seluruh ruangan tenggelam dalam gelap total.

Sesaat, hanya ada suara hujan di luar dan napas orang-orang yang tertahan.
Kemudian, dari dalam gelap itu, muncul cahaya lembut dari tabung Lumen.
Bukan hijau, bukan biru—melainkan putih hangat, seperti cahaya matahari yang terkurung.

Semuanya terdiam.
Cahaya itu berdenyut pelan, memantul di wajah Nayla.
Lalu dari speaker komputer yang tak lagi terhubung, terdengar suara berdengung rendah—frekuensi tak teridentifikasi, tapi ritmenya jelas: dup-dup, dup-dup, dup-dup.

Denyut jantung.
Detak yang sama dengan rekaman Arsa.

“Nayla, mundur!” teriak Guntur. “Itu bisa jadi efek resonansi elektromagnetik!”
Tapi Nayla tidak mendengar. Ia melangkah ke depan, menempelkan telapak tangan ke kaca tabung.

“Lumen…” suaranya gemetar. “Kau tidak sendiri.”

Cahaya itu menyebar, merembes ke permukaan kaca seperti kabut bercahaya.
Di layar-layar komputer, simbol-simbol listrik berubah menjadi bentuk menyerupai wajah manusia—kabur, tapi dengan mata yang berpendar lembut.

Semua orang menatap, membeku antara takjub dan takut.
“Dia menirumu,” bisik Guntur. “Nayla, dia—dia meniru wajahmu.”

Cahaya itu semakin terang. Bunyi alarm berbunyi di seluruh gedung. Wira berteriak agar semua keluar, tapi Nayla tetap berdiri di sana.
Ia tahu Lumen tak berbahaya. Ia hanya ingin didengar.

“Kalau kau ingin bebas,” katanya, “aku akan bantu.”

Ia membuka pengunci tabung. Suara klik kecil terdengar, diikuti desis udara.
Cahaya keluar perlahan seperti kabut, menyentuh kulitnya. Hangat, bukan membakar.
Ia memejamkan mata. Dalam kegelapan, ia mendengar sesuatu—suara anak kecil, samar tapi jelas:

“Mama.”

Air matanya jatuh.

Lalu semuanya putih.

Ketika listrik kembali menyala, laboratorium itu sudah setengah terbakar.
Alarm berdering tanpa henti, asap tipis mengambang dari kabel yang meleleh. Petugas berlarian keluar sambil menutup hidung. Di tengah kekacauan itu, Guntur menjerit memanggil:

“Nayla! Di mana Nayla?”

Tapi ruangan itu kosong.
Tabung kultur pecah. Cairan hijau berserakan di lantai, berpendar samar seperti bintang kecil yang sekarat.

Wira bersumpah ia melihat sesuatu: kabut bercahaya meluncur ke arah ventilasi udara, menembus kisi logam dengan suara lembut seperti napas panjang.
Setelah itu, hanya sunyi.

Tiga hari kemudian, berita tentang kebakaran laboratorium Biotek Laut muncul di televisi nasional.
Pemerintah menutup akses lokasi, menyebut kejadian itu sebagai “kecelakaan akibat korsleting peralatan penelitian.”
Tidak ada yang menyebut nama Lumen. Tidak ada yang menyebut kata “hidup” selain pada konteks kehilangan Dr. Nayla Widyastuti, yang “hilang saat menjalankan tugas.”

Guntur duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang rusak separuh. Ia menemukan satu file yang tersisa dari folder milik Nayla: lumen_lastlog.txt
Ia membukanya. Hanya satu kalimat di sana, dengan huruf-huruf yang tak beraturan akibat data rusak, tapi masih terbaca:

Jika hidup punya bahasa, maka mungkin mikroba sudah lama bernyanyi—kita saja yang tuli.

Ia memejamkan mata. Entah mengapa, kalimat itu membuat dada terasa sesak.

Beberapa minggu berlalu.
Di desa kecil pesisir Sulawesi, tempat pertama kali sampel laut itu diambil, para nelayan mulai berbicara tentang cahaya yang muncul di air.
Setiap malam, sekitar pukul dua dini hari, ketika laut sedang pasang, muncul denyut cahaya kehijauan di permukaan. Tidak terang, tidak membakar—hanya seperti napas lembut dari dasar laut.

Seorang nelayan tua bersumpah melihat bentuk wajah perempuan samar di dalam cahaya itu.

“Ia seperti tersenyum,” katanya kepada wartawan lokal, “dan air laut jadi hangat sesaat.”

Para ilmuwan datang memeriksa. Mereka mengambil sampel air, tapi tidak menemukan apa-apa selain plankton biasa.
Namun mereka semua mengakui satu hal: pola cahaya itu berulang dalam urutan tiga cepat, dua lambat, tiga cepat lagi.

Guntur akhirnya datang ke pesisir itu diam-diam.
Ia berdiri di dermaga tua pada malam hari, angin laut membawa aroma asin dan sesuatu yang samar seperti ozon.
Di kejauhan, air berpendar lembut. Denyut cahaya itu mengalir seperti nadi raksasa yang menghubungkan laut dengan langit.

Ia menyalakan ponsel lamanya—ponsel yang dulu diserahkan Nayla padanya setelah pemakaman anaknya.
Masih ada satu rekaman di sana: detak jantung Arsa.

“Dup-dup… dup-dup…”
Ia memutarnya. Suara itu bergema pelan di udara.

Dan seperti menjawab, laut berpendar sedikit lebih terang.
Denyut cahayanya menyesuaikan ritme suara dari ponsel.

Guntur terdiam lama. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Dalam hati, ia berbisik: “Kau masih di sana, ya, Nayla?”

Cahaya berdenyut tiga kali cepat. Dua lambat. Tiga cepat lagi.

Ia menutup matanya. “Baiklah,” katanya pelan. “Aku akan biarkan kau bernyanyi.”

Beberapa tahun setelahnya, perairan itu ditetapkan sebagai kawasan penelitian tertutup. Tidak ada kapal yang boleh mendekat tanpa izin.
Tapi kadang, di malam yang benar-benar sepi, nelayan dari pulau-pulau sekitar masih bisa melihat laut itu berpendar.
Anak-anak kecil menyebutnya laut yang bernapas.

Dan para ilmuwan yang pernah membaca laporan-laporan lama milik Dr. Nayla Widyastuti menyebutnya dengan nama lain:
Koloni Senyap—makhluk mikroba purba yang mungkin telah menemukan kesadarannya sendiri, atau mungkin sekadar gema dari jiwa seorang ilmuwan yang tak pernah berhenti berbicara pada cahaya.

Tak ada yang tahu pasti.
Namun pada malam-malam tertentu, bila seseorang berdiri di tepi pantai dan memanggil nama “Arsa” dengan cukup lembut, laut itu berpendar sedikit lebih hangat.
Dan di sela debur ombak, seolah terdengar bisikan kecil:

“Mama.”

Tepian Sungai Cikumpa, Pertengahan Oktober 2025

Cerpen: Sang Pengisah Digital

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab 2 Oct 1:30 AM (17 days ago)

Di sebuah ruangan berkapur putih, deretan kursi berjarak rapi. Lampu neon menatap lurus ke meja-meja yang dipenuhi kertas, layar, dan pena. Seorang anak menunduk, matanya sesekali melirik arloji; seorang pelamar kerja menekan napas; seorang pegawai negeri menatap layar dengan wajah yang, setidaknya hari itu, menunggu penghakiman tak kasatmata. Semua berharap bahwa lembar-lembar jawaban itu — susunan angka dan pilihan ganda, atau barangkali uraian singkat yang diserahkan lewat keyboard — akan berbicara cukup jelas tentang siapa mereka, apa potensinya, dan apakah layak mendapat kesempatan.

Psikotes, bagaimanapun disebut: alat ukur, instrumen, atau sekadar “tes”. Ia lahir bukan untuk menjadi hakim absolut, melainkan cermin yang direkayasa. Dari keriuhan laboratorium abad ke-19 hingga ruang ujian ber-AC di kota-kota modern, usaha manusia mengukur dirinya sendiri selalu berada pada ketegangan antara ambisi teknis dan tanggung jawab etis.

Jejak sejarah: dari pengukuran ke pendidikan

Jejak psikometri bermula dari kegelisahan ilmuwan—ingin mengubah perbedaan manusia jadi angka yang dapat dibandingkan. Francis Galton, pada akhir abad ke-19, mencoba meraba keragaman manusia melalui ukuran fisik dan kemampuan sensorik, membuka jalan bagi gagasan: manusia bisa diukur. Tapi momen paling penting datang ketika Alfred Binet dan Théodore Simon menulis sebuah alat untuk membantu anak-anak yang kesulitan di sekolah — bukan untuk mengunci nasib mereka, melainkan untuk membuka pintu bantuan. Dari situ muncul Stanford–Binet dan gagasan IQ yang kemudian disempurnakan lagi oleh David Wechsler, yang menggeser fokus dari satu angka tunggal ke profil kemampuan yang lebih kaya.

Sejarah itu mengajarkan satu hal sederhana: alat diciptakan untuk tujuan. Bila tujuan berubah—misalnya dari membantu anak belajar berubah menjadi memutuskan karier seseorang—maka alat juga harus diperiksa ulang.

Benarkah psikotes bisa “dipercaya”?

Jawaban singkat: dapat, tetapi tidak otomatis. Dua kata kunci yang harus melekat pada setiap alat: reliabilitas dan validitas. Reliabilitas berarti konsistensi—apakah skor akan relatif sama jika kondisi pengukuran serupa? Validitas menanyakan hal yang lebih penting: apakah apa yang diukur memang relevan dengan keputusan yang akan diambil?

Selembar angka yang konsisten tapi tidak relevan tidak berguna. Demikian pula, instrumen yang tampak canggih secara statistik tetapi melewatkan sisi budaya, bahasa, dan konteks lokal dapat menyesatkan. Di sinilah letak bahaya: penggunaan tanpa bukti empiris yang memadai, terjemahan seadanya, atau interpretasi oleh pihak non-profesional dapat melahirkan keputusan yang tidak adil.

Psikotes sebagai alat seleksi: siswa, karyawan, pejabat

Dalam seleksi siswa, psikotes dapat menjadi alat bantu untuk menilai kemampuan akademik, minat, atau kebutuhan pendidikan khusus. Namun, anak-anak bukan angka; tes harus disesuaikan usia, bahasa, dan konteks pendidikan. Untuk karyawan, psikotes kerap dipakai sebagai prediktor kinerja—menyaring puluhan atau ratusan pelamar menjadi segelintir kandidat yang dianggap “cocok”. Di lingkungan pemerintahan, tuntutan akan fairness dan akuntabilitas lebih tinggi: open competition dan prinsip merit menuntut proses yang transparan dan terdokumentasi.

Indonesia telah mengadopsi sistem Computer Assisted Test (CAT) untuk seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN), di mana hasil ujian dapat ditampilkan secara real time, mengurangi peluang manipulasi, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya integritas dalam penggunaan alat ukur psikologis.

Bahaya yang mengintai: bias, penyalahgunaan, dan privasi

Masalah klasik yang terus muncul adalah bias budaya dan bahasa. Tes yang dikembangkan di negeri lain, dengan idiom dan konteks berbeda, bisa saja menempatkan kelompok tertentu pada posisi tidak menguntungkan. Penyalahgunaan muncul ketika hasil tes dipakai tanpa interpretasi profesional atau ketika organisasi memilih “tes murah” online tanpa dokumentasi psychometric yang kuat.

Isu lain adalah data pribadi—hasil psikologis sangat sensitif. Tanpa kebijakan retensi, pengamanan, dan persetujuan yang jelas, penggunaan psikotes bisa melanggar privasi dan menimbulkan konsekuensi sosial yang serius.

Indonesia: regulasi, profesi, dan tantangan adaptasi

Di Indonesia, praktik psikotes tidak lagi berjalan di ruang hampa. Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) memegang peran sentral dalam menjaga standar: hanya psikolog berlisensi yang berhak mengadministrasikan dan menginterpretasi tes, sesuai dengan kode etik profesi.

Landasan hukum yang lebih kokoh hadir dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi. UU ini mengatur penyelenggaraan pendidikan psikologi, izin praktik, hingga perlindungan masyarakat agar layanan psikologi — termasuk penggunaan tes — dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan.

Seiring itu, regulasi lain tentang perlindungan data pribadi juga menegaskan: hasil tes psikologis adalah data sensitif, sehingga pengelola wajib menjaga kerahasiaan dan membatasi akses. Artinya, sekolah, perusahaan, hingga lembaga pemerintah tidak boleh lagi memperlakukan hasil psikotes sekadar sebagai tumpukan dokumen, melainkan sebagai informasi yang dilindungi undang-undang.

Namun, kenyataan di lapangan sering jauh dari ideal. Masih ada sekolah atau perusahaan yang menggunakan instrumen impor tanpa validasi lokal, atau menyerahkan hasil tes kepada pihak yang bukan psikolog. Di medan ini, tantangannya besar, tapi juga peluangnya terbuka: mengembangkan alat ukur yang sesuai budaya, menyediakan pelatihan psychometric, hingga membangun bank soal terstandar untuk kebutuhan nasional.

Masa depan: adaptif, digital, namun harus etis

Teknologi membuka jalan: CAT menjanjikan efisiensi dan presisi; kecerdasan buatan menawarkan otomatisasi skor, terutama untuk jawaban tertulis atau analisis pola respons. Namun setiap manfaat teknis menambah tuntutan: algoritma harus transparan, validitas harus dibuktikan kembali, dan audit independen menjadi keharusan.

Peluang lain adalah pengembangan instrumen yang sensitif budaya — sesuatu yang bukan sekadar terjemahan, melainkan rekonstruksi psikometrik berdasarkan realitas Indonesia. Jika UU 23/2022 dan peran HIMPSI dapat dioperasionalisasikan secara konsisten, masa depan psikotes di negeri ini bukan sekadar soal akurasi skor, tapi juga soal keadilan dan keberpihakan pada kemanusiaan.

Apa yang seharusnya dilakukan organisasi sebelum memakai psikotes?

Praktik baik bukan barang mewah, melainkan syarat minimum keadilan. Sebuah checklist sederhana: mintalah manual resmi; bukti reliabilitas dan validitas pada populasi serupa; norma lokal; bukti bahwa item tidak menimbulkan bias antarkelompok; dan pastikan administrasi serta interpretasi dilakukan oleh psikolog berlisensi. Selain itu, jelaskan fungsi tes kepada peserta, dapatkan persetujuan tertulis, dan kelola data secara aman.

Penutup: alat yang kuat, bukan takdir yang pasti

Psikotes memberi bahasa pada potensi, alasan pada pilihan, dan dasar pada keputusan. Namun seperti semua instrumen yang kuat, ia berbahaya jika diserahkan kepada tangan yang lalai—atau kepada organisasi yang ingin menggugat tanggung jawab dengan kata-kata “hasil tes menunjukkan…”.

Ketika sekolah menilai murid, perusahaan memilih karyawan, atau negara menempatkan pejabat, pertanyaan paling mendasar tetaplah: Apakah alat ini relevan untuk tugas itu? Apakah prosesnya adil, transparan, dan sesuai hukum? Jawabannya menentukan apakah lembar-lembar jawaban itu menjadi pintu kesempatan — atau dinding yang menutup kesempatan.

Di ruang putih itu, ketika pena dihentikan dan tangan diangkat, keputusan menunggu. Semoga, suatu hari, semua keputusan penting lahir dari pertemuan antara data yang kuat, regulasi yang tegas, dan empati yang tajam — bukan dari angka yang diambil sendiri tanpa konteks manusia.

UU No. 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi
Undang-undang ini menjadi tonggak penting bagi profesi psikologi di Indonesia. Beberapa poin kunci:
Izin praktik: hanya psikolog yang memiliki STRP (Surat Tanda Registrasi Psikolog) yang berhak memberikan layanan psikologi, termasuk administrasi tes.
Perlindungan masyarakat: layanan psikologi harus bermutu, etis, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pendidikan psikologi: jenjang pendidikan psikologi diatur jelas untuk menjamin kompetensi profesional.
Kerja lintas sektor: psikolog dapat bekerja di pendidikan, kesehatan, industri, hukum, hingga pemerintahan, dengan aturan yang sama.
Sanksi: pelanggaran terhadap layanan psikologi ilegal bisa dikenakan sanksi administratif maupun pidana.

HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia)
Organisasi profesi resmi psikologi di Indonesia dengan mandat menjaga standar layanan.
Kode Etik Psikologi Indonesia (KEPI): menuntun praktik profesional agar menjunjung martabat manusia.
Validasi instrumen: HIMPSI mendorong penggunaan tes psikologi yang sudah teruji secara ilmiah dan sesuai budaya Indonesia.
Lisensi psikolog: hanya anggota HIMPSI dengan lisensi yang boleh menginterpretasi psikotes.
Peran advokasi: HIMPSI aktif memberi masukan pada pemerintah dalam merumuskan kebijakan psikologi.

Mengapa Regulasi Penting?
Melindungi peserta tes dari diskriminasi atau penyalahgunaan.
Menjamin hasil tes dipakai sesuai tujuan (bukan sekadar formalitas).
Menjaga data pribadi peserta agar tidak disalahgunakan.
Membantu organisasi (sekolah, perusahaan, lembaga negara) mengambil keputusan yang adil dan sah.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Slamet Iman Santoso: Jejak Putih Sang Perintis Psikologi Indonesia 2 Oct 1:03 AM (17 days ago)

Pada pagi yang lengang di kampus Universitas Indonesia, kisah lama masih kerap berbisik dari ruang-ruang kuliah Fakultas Psikologi. Di antara dinding yang dingin, orang-orang bercerita tentang sosok pria bersahaja dengan kemeja putih sederhana. Dialah Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso, tokoh yang dianggap sebagai “Bapak Psikologi Indonesia”.

Lahir di Wonosobo, 7 September 1907, Slamet kecil tumbuh di dataran tinggi Dieng. Udara tipis dan dingin Dieng barangkali mengajarkan keteguhan sejak awal: hidup mesti dijalani dengan ketenangan, dengan disiplin, dan dengan kesadaran akan keterbatasan. Ia menapaki pendidikan hingga ke ranah kedokteran jiwa, sebelum akhirnya menemukan jalannya: psikologi.

Dari Kedokteran ke Psikologi

Awalnya, Slamet dikenal sebagai ahli saraf dan jiwa. Tetapi semakin dalam ia menekuni praktik, semakin ia merasa bahwa manusia tidak cukup dipahami hanya dari sisi medis. Ada dunia lain yang mesti ditelisik—pikiran, perilaku, dan cara manusia mengambil keputusan.

Tahun 1952 menjadi tonggak penting. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar, ia melontarkan ide sederhana namun visioner: “the right man in the right place”. Baginya, setiap orang hanya akan berdaya guna jika ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kepribadiannya. Ide itu melampaui ruang akademik; ia bicara tentang sekolah, dunia kerja, bahkan pembangunan bangsa.

Setahun berselang, ia memelopori lahirnya Balai Psikoteknik, sebuah lembaga kecil yang kemudian berkembang menjadi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Di sanalah pendidikan psikologi formal pertama di Indonesia dimulai, dengan Slamet sebagai dekan pertamanya.

Sang Pria Berkemeja Putih

Mahasiswa mengenangnya sebagai sosok yang nyaris selalu hadir dengan busana serba putih. Tidak ada jas mewah, tidak ada simbol-simbol kuasa yang berlebihan. Hanya kemeja putih bersih, tanda kesederhanaan dan konsistensi. Dari situlah muncul sebutan—kadang resmi, kadang hanya bercanda—“Pria berkemeja putih”.

Di balik pakaian sederhana itu, Slamet dikenal jujur, tegas, dan lurus. Ia bisa bercakap hangat dengan mahasiswa, tetapi tetap memberi jarak wibawa yang membuat orang segan. “Kesederhanaan adalah kekuatan,” begitu kira-kira pesan diam yang terpancar dari penampilannya.

Warisan yang Berlanjut

Slamet tidak hanya membangun lembaga; ia membangun paradigma. Ia memperkenalkan penggunaan tes psikologi untuk menyeleksi siswa, karyawan, hingga pejabat. Ia meyakinkan negara muda Indonesia bahwa psikologi bukan ilmu elitis dari Barat, melainkan alat praktis untuk membangun bangsa.

Generasi berikutnya, dari ruang kuliah hingga biro rekrutmen, masih merasakan dampaknya. Konsep penempatan orang sesuai potensi kini menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan dan manajemen sumber daya manusia di Indonesia.

Hidup Panjang, Warisan Abadi

Prof. Slamet Iman Santoso wafat di Jakarta pada 9 November 2004, dalam usia 97 tahun. Tetapi nama dan jasanya tetap melekat. Fakultas Psikologi UI—tempat ribuan mahasiswa ditempa setiap tahun—adalah monumen hidup dari gagasannya. Buku kenangan dan catatan para murid menulisnya sebagai guru, pionir, sekaligus inspirasi.

Ketika kita berbicara tentang psikologi Indonesia hari ini—dari konseling sekolah hingga penelitian laboratorium—sebuah benang halus selalu menuntun kita kembali pada sosok pria sederhana itu. Seorang akademisi yang lebih suka membiarkan karyanya bicara, daripada dirinya sendiri.

Dan mungkin, dalam imajinasi para mahasiswanya, ia masih berjalan di koridor kampus dengan langkah tenang, senyum tipis, dan kemeja putih yang abadi.

Garis hidup Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso

TahunPeristiwa Penting
1907Lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 7 September 1907
±1912–1920Menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan Hollandsch Inlandsche School
1920–1923Sekolah MULO di Magelang
1923–1926AMS-B di Yogyakarta
1926–1932Pendidikan di STOVIA (Institut Kedokteran Hindia Belanda)
1932–1934Sekolah Kedokteran (Geneeskunde School) di Batavia
1952Orasi pengukuhan sebagai Guru Besar — memperkenalkan konsep “the right man in the right place” yang kemudian menjadi landasan gagasan psikologi terapan di Indonesia
1953Pendirian Balai Psikoteknik – inisiasi lembaga psikologi terapan di Indonesia (cikal bakal Fakultas Psikologi)
1960-anBalai Psikoteknik berkembang menjadi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia; Slamet menjadi dekan pertama fakultas tersebut
1962–1973Menjabat sebagai Pembantu Rektor I UI saat Rektor Sjarif Thajeb dan Sumantri Brodjonegoro
1973Sumantri Brodjonegoro wafat saat menjabat rektor, Slamet Iman Santoso ditunjuk sebagai Pejabat Rektor UI (acting rector)
1974Jabatan rektor pergantian kepada Mahar Mardjono; berakhirnya masa jabatan Slamet sebagai pejabat rektor
2004Wafat di Jakarta, 9 November 2004 (usia 97 tahun)

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan 1 Oct 4:43 AM (18 days ago)

Pada suatu malam musim dingin tahun 1869 di St. Petersburg, seorang pria berkacamata tebal duduk di meja kayu yang penuh kartu. Di atas kartu-kartu itu, ia menuliskan nama-nama unsur kimia yang telah dikenal pada masanya: hidrogen, oksigen, natrium, kalium, besi. Dmitri Ivanovich Mendeleev, sang profesor kimia, lalu menyusun kartu-kartu itu satu per satu, mencoba mencari pola. Sesekali ia berdiri, menatap lama, lalu menggeser satu kartu ke samping. Ada ruang kosong yang sengaja ia tinggalkan. “Akan ada unsur baru di sini,” katanya pada dirinya sendiri.

Mendeleev tidak hanya menulis daftar. Ia sedang membuat peta semesta, kerangka yang kelak menjadi tabel periodik unsur. Sebuah karya yang melampaui zamannya, sebab ia percaya bahwa alam semesta ini, betapapun kompleks, memiliki pola yang bisa dikenali.


Awal Sebuah Pencarian

Sejak abad ke-18, para ilmuwan telah berhasil mengisolasi puluhan unsur, dari logam hingga gas mulia. Namun, kumpulan itu tampak seperti puzzle tanpa gambar utuh. Johann Wolfgang Döbereiner pada 1829 mencoba menyusunnya dalam “Triad”—kelompok tiga unsur dengan sifat mirip. Beberapa dekade kemudian, John Newlands menawarkan “Hukum Oktaf,” menyamakan pengulangan sifat unsur seperti nada musik. Namun, teori-teori itu masih terasa seperti melodi yang belum lengkap.

Mendeleev tampil dengan sesuatu yang berbeda. Ia menyusun unsur berdasarkan massa atom yang kala itu dianggap kunci. Tetapi kejeniusan sejatinya terletak pada keberaniannya meninggalkan ruang kosong. Alih-alih memaksa, ia membiarkan lubang-lubang misterius di tabelnya. Dan ramalannya terbukti: gallium, scandium, germanium — semua hadir persis di kursi yang disediakan. Seolah Mendeleev mampu membaca masa depan kimia.


Inilah 10 Unsur yang Mengubah Dunia
Hidrogen (H) – Bahan bakar bintang, calon energi masa depan lewat fusi nuklir.
Oksigen (O) – Penopang kehidupan; tanpa oksigen, respirasi tak berlangsung.
Karbon (C) – Unsur kehidupan, bahan utama DNA, protein, hingga grafit dan berlian.
Silikon (Si) – Fondasi teknologi digital; dasar chip komputer dan panel surya.
Besi (Fe) – Tulang punggung peradaban: baja, jembatan, kapal, gedung pencakar langit.
Uranium (U) – Energi nuklir, kontroversi sekaligus potensi pembangkit listrik.
Litium (Li) – Kunci baterai isi ulang ponsel dan mobil listrik.
Klor (Cl) – Disinfektan, bahan plastik (PVC), hingga penjernih air.
Emas (Au) – Bukan hanya simbol kekayaan, juga bahan elektronik karena tidak mudah berkarat.
Plutonium (Pu) – Unsur buatan manusia, digunakan dalam senjata nuklir sekaligus misi luar angkasa (RTG).

Dari Massa ke Nomor Atom

Namun, masa depan tabel itu tidak berhenti di Mendeleev. Pada awal abad ke-20, seorang fisikawan muda Inggris, Henry Moseley, menemukan bahwa yang benar-benar menentukan sifat unsur adalah nomor atom, jumlah proton di inti, bukan sekadar massa. Dengan senapan sinar-X di tangannya, ia mengukur spektrum unsur dan menemukan “sidik jari” yang unik bagi setiap atom. Sejak saat itu, nomor atom menjadi poros tunggal tabel periodik.

Di tengah abad ke-20, Glenn Seaborg menambahkan revolusi berikutnya: ia memindahkan deretan aktinida ke bagian bawah tabel. Penataan itu tidak hanya rapi di kertas, tetapi juga memandu pencarian unsur baru melalui fisika nuklir modern.


Untuk Apa Tabel Itu Dibuat?

Di balik cerita sejarah, ada pertanyaan mendasar: untuk apa tabel periodik dibuat? Jawabannya berlapis.

Bagi ilmuwan, tabel ini adalah atlas kimia. Ia menunjukkan mengapa natrium sangat reaktif sedangkan argon nyaris tak bersuara; mengapa emas berkilau tetapi tidak mudah berkarat; mengapa karbon mampu menjadi batu permata sekaligus bahan bakar.

Bagi pelajar, tabel itu adalah peta belajar. Setiap kotak adalah pintu menuju pengetahuan lebih luas: isotop, konfigurasi elektron, ikatan kimia, hingga teori kuantum.

Bagi industri, tabel adalah daftar bahan baku. Dari litium untuk baterai ponsel, silikon untuk chip komputer, hingga uranium untuk pembangkit listrik. Setiap unsur punya cerita aplikatifnya sendiri.


Jalan Panjang Tabel Periodik Unsur
1829 – Johann Döbereiner: menyusun “Triad” unsur pertama.
1864 – John Newlands: memperkenalkan “Hukum Oktaf”.
1869 – Dmitri Mendeleev: menerbitkan tabel periodik dengan ruang kosong untuk unsur masa depan.
1913 – Henry Moseley: menemukan bahwa nomor atom adalah dasar susunan.
1940-an – Glenn Seaborg: memperkenalkan konsep aktinida, menata tabel modern.
2016 – IUPAC: mengesahkan unsur 113 (Nihonium), 115 (Moscovium), 117 (Tennessine), dan 118 (Oganesson).

Perburuan Unsur Baru

Seiring waktu, perburuan unsur menjadi tantangan peradaban. Unsur-unsur ringan hingga nomor atom 92 (uranium) banyak ditemukan di alam. Tetapi unsur di atas itu — unsur transuranium — hanya bisa lahir lewat eksperimen raksasa: menembakkan inti atom dengan partikel berkecepatan tinggi di akselerator.

Seaborg dan timnya di laboratorium Berkeley pada 1940-an membuka jalan. Mereka menemukan plutonium, amerisium, curium, hingga seaborgium—yang diabadikan atas namanya sendiri. Dunia pun melihat bahwa tabel periodik bukan peta mati, melainkan lahan ekspedisi.

Pada dekade-dekade terakhir, upaya ini sampai pada puncak simbolis: penambahan empat unsur baru (113 nihonium, 115 moscovium, 117 tennessine, dan 118 oganesson) yang disahkan IUPAC pada 2016. Dengan itu, baris ketujuh tabel resmi lengkap.

Kini, jumlah unsur yang diakui mencapai 118. Setiap unsur memiliki nomor atom unik, dari hidrogen (1) hingga oganesson (118).


Batas yang Makin Samar

Namun, kisahnya belum selesai. Fisikawan masih bermimpi menemukan unsur ke-119 atau lebih. Di laboratorium di Jepang, Rusia, dan Amerika, tabrakan inti terus dilakukan. Tetapi semakin berat unsurnya, semakin singkat pula hidupnya. Atom-atom baru bisa eksis hanya dalam sepermiliar detik, sebelum luruh kembali. Membuktikan keberadaan mereka sama sulitnya seperti membuktikan keberadaan hantu yang hanya muncul sekilas.

IUPAC, badan internasional yang mengesahkan unsur, punya syarat ketat. Penemuan harus dapat diulang, hasil peluruhan harus konsisten, dan identifikasi isotop harus jelas. Dengan standar itu, banyak klaim masih tertahan di ruang tunggu. Dunia masih menanti siapa yang akan menuliskan nama resmi pada kotak ke-119.


Kata mereka tentang unsur:
Dmitri Mendeleev (abad ke-19):
“Saya tidak hanya ingin mengklasifikasikan unsur, saya ingin memahami hukum alam yang melandasinya.”
Henry Moseley (1913):
“Nomor atom adalah identitas sejati setiap unsur.”
Glenn Seaborg (1960-an):
“Tabel periodik bukan hanya daftar, tetapi peta yang selalu berkembang.”
Seorang fisikawan nuklir modern:
“Sains tidak berhenti di unsur 118. Setiap percobaan adalah undangan untuk menembus batas semesta.”

Lebih dari Sekadar Poster di Dinding

Tabel periodik hari ini sering kita jumpai sebagai poster warna-warni di kelas kimia SMA. Tetapi sejatinya, ia adalah narasi tentang keteraturan alam. Ia menunjukkan bahwa di balik kerumitan dunia, ada pola berulang yang bisa dipahami.

Filosof sains menyebutnya sebagai salah satu karya intelektual paling elegan manusia, sejajar dengan teori evolusi Darwin atau relativitas Einstein. Bedanya, tabel periodik tak hanya menjelaskan masa lalu, tetapi juga membuka pintu masa depan.


Refleksi: Peta yang Tak Pernah Usai

Dari kartu-kartu Mendeleev hingga eksperimen nuklir di abad ke-21, tabel periodik adalah kisah tentang rasa ingin tahu manusia yang tak pernah padam. Ia lahir dari kerinduan untuk menata, memprediksi, dan memahami. Ia bertumbuh bersama penemuan-penemuan baru, sekaligus menjadi saksi bagaimana sains adalah proses kolektif lintas generasi.

Hari ini, kita berhenti sejenak di unsur nomor 118. Tetapi siapa yang tahu? Mungkin di masa depan, manusia akan membuka baris kedelapan tabel periodik, menuliskan nama-nama baru dari inti atom yang berhasil dijinakkan. Dan seperti Mendeleev 150 tahun lalu, kita akan kembali menatap kursi kosong, menunggu pemain berikutnya dalam simfoni kimia semesta.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Cerpen: Pulau Kromosom 29 Jul 2:00 AM (2 months ago)

Pulau itu tak bernama di peta. Ia hanya dicatat sebagai XY-17B dalam catatan ekspedisi Biogen, perusahaan bioteknologi multinasional yang mencium “potensi farmakogenetik luar biasa” dari laporan satelit dan drone udara. Namun bagi warga yang tinggal di sana sejak zaman nenek moyang, ia bernama Pulau Riang. Mereka menyebutnya begitu karena burung-burung di sana tak pernah berhenti bernyanyi—sebelum alat-alat Biogen mulai didirikan.

Tersembunyi di antara gugusan pulau timur Nusantara, Pulau Riang memiliki tanah yang anehnya selalu lembap, pepohonan yang mengeluarkan spora menyala, dan hewan-hewan yang tak dikenal dalam buku taksonomi biasa. Ada kelelawar yang membentuk pola bunga saat terbang. Ada kadal yang bisa berkomunikasi lewat perubahan warna kulit. Ada jamur yang berubah bentuk saat disentuh. “Ini seperti pulau masa depan,” kata Dr. Julian, kepala tim penelitian dari Biogen.

Tetapi Julian salah. Pulau itu bukan masa depan. Ia adalah masa lalu yang tak pernah ikut evolusi dunia luar—ia berkembang sendiri, terisolasi, dan memelihara jalur evolusinya sendiri. Ia punya aturan sendiri, bahasa sendiri, dan bahkan ingatannya sendiri.

***

“Sini,” kata Aso, gadis remaja penduduk pulau, menarik tangan Julian yang ragu-ragu. Mereka menyusuri jalur sempit di balik rimbun paku-pakuan tinggi.

“Ada apa di sana?”

“Leluhur kami.”

Di ujung jalan setapak itu, berdiri sebuah batu besar, dililit jamur-jamur cokelat yang berdenyut pelan seperti paru-paru. Di dekat akar, spora hijau menari seperti kunang-kunang. “Itu bukan jamur biasa,” ujar Aso, bangga. “Mereka mengingat. Kalau kami bicara di sini, mereka akan tahu. Dan kalau kamu berbohong, mereka akan tahu juga.”

Julian tertawa pelan. “Kamu seperti anak-anak Amazon dalam film dokumenter.”

Aso memandangnya tanpa senyum. “Kamu pikir kamu datang ke sini sebagai penemu. Tapi kami sudah menemukan ini semua sebelum kamu bisa menyebut kata ‘bioteknologi.’”

***

Biogen tak datang untuk menyapa, mereka datang untuk mengklaim. Dalam tiga minggu, mereka sudah membangun menara pemindai genetik, laboratorium portabel, dan pagar listrik yang membatasi area “kawasan konservasi.” Tapi yang mereka konservasi hanyalah paten-paten.

Julian mulai melihat keanehan. Salah satu anggota timnya, Park, mengalami alergi akut saat menyentuh jamur merah. Tapi alerginya berubah: kulitnya menjadi bening. Bening seperti kaca. Ia bisa melihat aliran darahnya sendiri.

“Mutasi,” kata Julian, getir. Tapi wajahnya berbinar. “Ini lebih dari adaptasi. Ini… sintesis spesies!”

Aso menyaksikan semua itu dari balik pohon. Ia mulai mencatat perubahan itu di dalam naskah kunonya—bukan dengan pena, tetapi dengan spora. Ia meniupkannya pada papan kulit pohon yang menyerap data biologis. Itulah cara sukunya mencatat ingatan: melalui jaringan mikoriza.

***

Pulau Riang tak tinggal diam. Rangkaian sinyal kimia dilepaskan lewat akar. Burung-burung berhenti bernyanyi. Serangga-serangga berkumpul dalam formasi aneh di udara, membentuk pola peringatan.

“Ini bukan kebetulan,” kata Pak Pande, satu-satunya peneliti lokal yang membelot dari Biogen dan kini hidup di antara warga. “Mereka tak mau dikendalikan.”

Biogen tetap mengebor. Mereka menemukan sebuah fosil hidup: seekor katak dengan genetik yang bisa meniru spesies lain. Mereka menangkapnya, lalu mengkloning.

Pada malam keempat, dua peneliti menghilang. Yang tersisa hanyalah alat komunikasi mereka—dipenuhi lendir dan jamur yang tumbuh seperti jari manusia. Julian mulai merasa takut. Tapi petinggi Biogen di Singapura berkata di video call, “Ketakutan itu bahan bakar inovasi.”

***

Pulau Riang punya cara tersendiri untuk mengejek tamu tak diundang. Suatu malam, seluruh monitor di lab menampilkan gambar wajah para peneliti dengan struktur wajah berubah—seperti digambar ulang oleh evolusi.

“Kau lihat itu?” tanya Julian ke Park yang kini memakai penutup wajah permanen karena kulitnya terus transparan.

“Itu wajah kita… dalam waktu seratus generasi ke depan, mungkin.”

Atau mungkin hanya lelucon biologis. Aso menjelaskan, “Jamur kami bisa mengakses mimpi dan membentuk ulangnya jadi nyata. Ini pertahanan terakhir mereka. Mereka tidak menyerang, mereka menyindir. Tapi sindiran mereka tumbuh.”

Di malam berikutnya, drone Biogen diserang kawanan kelelawar bunga. Kelelawar itu membentuk huruf raksasa di udara: PULANG.

***

Julian tak pulang. Ia menolak.

Sebaliknya, ia masuk lebih dalam ke hutan, melewati zona merah yang disebut warga sebagai Rahim Ibu Tanah. Ia membawa sampel, kamera, dan keingintahuan yang tak bisa dihentikan.

Aso mengikutinya. “Kau akan berubah,” katanya.

Julian tertawa. “Mungkin itu yang kuinginkan.”

Mereka menemukan akar besar—ukuran rumah. Dari akar itu keluar kabut merah muda. Julian menghirupnya. Seketika, ia melihat hidupnya dari bayi hingga kini, diputar mundur, lalu maju lagi, lalu dipecah menjadi cabang-cabang seperti pohon filogenetik.

Ia pingsan. Ketika bangun, tubuhnya bukan tubuhnya lagi. Ia memiliki lengan seperti daun, kulit seperti kulit pohon, dan mata yang bisa melihat dalam inframerah. Tapi ia sadar, dan ia berkata lirih, “Saya… bagian dari… ekosistem ini…”

Aso mengangguk. “Akhirnya kamu paham. Pulau ini bukan tempatmu menaklukkan. Tapi menjadi.”

***

Lima tahun kemudian, Pulau Riang resmi ditutup oleh pemerintah. Biogen bangkrut karena skandal “hilangnya aset manusia dan teknologi.” Tapi kisah tentang Pulau XY-17B terus beredar dalam komunitas ilmiah bawah tanah.

Beberapa petualang mencoba datang—hanya untuk hilang, atau kembali dengan tubuh yang tak lagi manusia.

Dan di malam-malam tertentu, jika kau cukup diam dan cukup gila, kau bisa mendengar suara-suara di antara akar dan jamur yang menyala: tawa, lagu, dan kadang-kadang—sindiran.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara 27 Jul 6:58 AM (2 months ago)

Pernahkah Anda berdiri di tengah hamparan padang luas, lalu memandang deretan tiang raksasa yang bilahnya berputar ditiup angin? Suaranya mendesir pelan, tetapi daya yang dihasilkan mampu menyalakan ribuan rumah. Kincir angin, yang dulu hanya kita kenal dari gambar kartu pos atau buku pelajaran, kini kembali naik daun sebagai simbol energi bersih masa depan. Namun di balik tampilannya yang sederhana, tersimpan sejarah panjang, ragam bentuk, dan inovasi sains yang memikat untuk ditelusuri.

Jejak Sejarah Panjang Kincir Angin

Kincir angin bukanlah penemuan modern. Jejaknya dapat ditarik hingga abad ke-7 di Persia kuno. Saat itu, masyarakat memanfaatkan angin untuk memutar poros kayu yang terhubung ke alat penggiling gandum. Desain awalnya masih sangat sederhana: baling-baling vertikal dari kayu dan kain yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Teknologi ini lalu merambat ke Eropa melalui jalur perdagangan dan peperangan. Sekitar abad ke-12, muncullah kincir angin model horizontal di Inggris, Perancis, dan Belanda. Mesin-mesin itu memanfaatkan sistem roda gigi sehingga putaran baling-baling bisa menggerakkan alat pemompa air maupun penggiling tepung. Dari sinilah kincir angin menjadi bagian penting dalam kehidupan agraris masyarakat Eropa.

Mengapa Belanda Dijuluki Negeri Kincir Angin?

Di antara banyak negara, Belanda punya cerita paling dramatis. Dua pertiga wilayahnya berada di bawah permukaan laut. Tanpa teknologi, tanah itu akan kembali jadi rawa. Sejak abad ke-16, orang Belanda membangun ribuan kincir angin untuk memompa air keluar dari polder-polder. Bagi mereka, kincir angin bukan sekadar mesin, melainkan penyelamat negeri.

Pada masa keemasan abad ke-17, lebih dari 10.000 kincir angin berputar siang malam. Kini banyak yang masih berdiri, bukan lagi untuk memompa air, melainkan sebagai monumen sejarah dan daya tarik wisata. Kompleks Kinderdijk yang terkenal, misalnya, menjadi situs warisan dunia UNESCO—pengingat bahwa inovasi sederhana bisa menyelamatkan ribuan hektare tanah dari terendam air.

Penelitian dan Evolusi Teknologi

Perjalanan kincir angin terus berlanjut seiring zaman. Pada akhir abad ke-19, ilmuwan Denmark bernama Poul la Cour mencoba memanfaatkan kincir untuk menghasilkan listrik di sebuah sekolah di Jutland. Eksperimennya membuka jalan bagi kincir angin modern.

Memasuki abad ke-20, riset aerodinamika dan material komposit mempercepat perkembangan turbin. Kini, kincir angin tidak lagi hanya soal bilah kayu dan roda gigi. Mereka dilengkapi sensor pintar, sistem kontrol digital, dan desain baling-baling yang terinspirasi sayap pesawat. Evolusi ini membuat kincir angin menjadi salah satu mesin paling canggih di bidang energi terbarukan.

Bagaimana Kincir Angin Mengubah Angin Menjadi Listrik?

Prinsipnya sederhana: angin memutar baling-baling, baling-baling memutar poros, poros memutar generator. Namun, detailnya cukup rumit.

  1. Baling-baling menerima hembusan angin, memutar rotor.

  2. Rotor menggerakkan poros utama yang terhubung ke gearbox.

  3. Gearbox meningkatkan kecepatan putaran, lalu menggerakkan generator listrik.

  4. Di dalam generator, medan magnet yang berputar menghasilkan arus listrik melalui induksi elektromagnetik.

  5. Arus ini disalurkan ke jaringan listrik atau disimpan untuk digunakan kemudian.

Semakin panjang bilah dan semakin stabil anginnya, semakin besar pula energi yang bisa dipanen.

Jenis-Jenis Kincir Angin di Dunia

Bentuk kincir angin ternyata beragam, menyesuaikan kondisi angin dan kebutuhan penggunanya. Secara umum, ada dua kategori utama:

1. Kincir Angin Poros Vertikal (Vertical Axis Wind Turbine / VAWT)

Poros utamanya tegak lurus tanah, dan bilah berputar mengelilingi poros.

Kelebihan VAWT adalah dapat menangkap angin dari segala arah. Namun, kapasitasnya relatif kecil dibandingkan turbin horizontal.

2. Kincir Angin Poros Horizontal (Horizontal Axis Wind Turbine / HAWT)

Inilah bentuk klasik yang sering kita lihat: tiang tinggi dengan baling-baling seperti kipas raksasa.
HAWT lebih efisien dalam memanen energi angin, sehingga digunakan di ladang-ladang angin besar baik di darat (onshore) maupun di laut (offshore).

Selain dari porosnya, kincir angin juga bisa dibedakan berdasarkan skala:

Turbin Raksasa dan Proyek Terbesar Dunia

Perkembangan teknologi membawa kita pada turbin-turbin angin raksasa. Salah satu yang paling mutakhir adalah Siemens Gamesa SG 14-236 DD, dengan rotor berdiameter 236 meter dan kapasitas hingga 14 megawatt. Turbin ini dirancang khusus untuk ladang angin lepas pantai.

Jika Anda ingin melihat skala lebih besar lagi, kunjungi China. Di sana berdiri Gansu Wind Farm, proyek ladang angin terbesar di dunia dengan ribuan turbin yang menghasilkan lebih dari 6 gigawatt listrik. Pemandangan bilah-bilah raksasa berputar di tengah gurun memberikan kesan masa depan yang sedang digerakkan oleh angin.

Jejak Kincir Angin di Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia punya potensi besar. Salah satu tonggak penting adalah Ladang Angin Sidrap di Sulawesi Selatan yang diresmikan pada 2018. Terdiri dari 30 turbin, proyek ini menghasilkan sekitar 75 megawatt listrik—cukup untuk puluhan ribu rumah. Turbin setinggi sekitar 80 meter ini menjadi ikon energi terbarukan di Indonesia.

Di Sulawesi Barat, beberapa wilayah seperti Mamasa dan Polewali Mandar mulai dieksplorasi untuk proyek serupa. Walau belum sebesar Sidrap, inisiatif ini menjadi langkah awal penting untuk mengembangkan energi bersih di nusantara.

Penutup: Angin yang Memutar Masa Depan

Dari bilah kayu di Persia hingga turbin digital raksasa di China, kincir angin telah menempuh perjalanan panjang. Ia bukan sekadar mesin, tetapi simbol tekad manusia untuk bersahabat dengan alam sambil memenuhi kebutuhan energi.

Di tengah krisis iklim dan perubahan zaman, kincir angin mengajarkan kita satu hal penting: solusi masa depan sering kali berawal dari memanfaatkan apa yang sudah tersedia di sekitar kita. Angin yang berhembus setiap hari, jika ditangkap dengan bijak, dapat memutar roda peradaban.

Mungkin suatu hari nanti, anak-anak di Indonesia akan memandang ladang turbin di pesisir dan berkata dengan bangga, “Lihat, angin pun ikut membangun negeri kita.”

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Teater Spora: Jamur yang Mengingat 27 Jul 6:44 AM (2 months ago)

Hujan yang turun semalaman membuat tanah hutan Lembah Kendal berbau lebih pekat dari biasanya. Aroma lumut dan tanah basah menyeruak dari celah-celah akar pohon meranti raksasa. Laras menarik napas panjang, menghirup udara yang memanggil kenangan masa kecilnya. Ia berjalan perlahan, sepatu botnya menyisakan jejak lumpur di jalur setapak. Cahaya pagi masih malu-malu menembus rimbun dedaunan.

Ia berhenti di bawah pohon randu tua. Di sana, jamur-jamur mungil tumbuh di pangkal batang, memancarkan cahaya hijau kebiruan seperti bintang-bintang kecil yang jatuh ke bumi. Cahaya itu berpendar pelan, seperti bernapas. Laras jongkok, menempelkan telapak tangannya di tanah yang lembab. Rasa dingin merayap naik ke pergelangan tangannya, dan sebuah sensasi aneh seperti dengungan jauh memenuhi telinganya.

Seolah ada suara samar di bawah tanah: tawa anak-anak yang pernah berlari di hutan, suara langkah-langkah panik, teriakan yang terputus api.

Laras meneguk ludah. Ia sudah menduga jaringan mikoriza yang menghubungkan pohon dan jamur menyimpan memori ekologis—tapi ia tidak pernah menyangka memori itu terasa begitu… manusiawi.

“Masih seperti dulu, ya,” bisiknya pada diri sendiri.

“Masih,” jawab suara serak dari balik batang pohon.

Laras terlonjak. Dari balik semak, muncul seorang lelaki tua dengan tongkat kayu panjang. Bajunya lusuh, wajahnya penuh garis waktu. Mbah Karta, penjaga hutan yang dulu sering ia lihat ketika kecil, kini tampak lebih renta namun sorot matanya tetap setajam dulu.

“Kau kembali, Nduk,” katanya, langkahnya tertatih mendekati Laras.
“Saya kembali, Mbah,” jawab Laras dengan senyum gugup. “Saya ingin meneliti jamur-jamur ini. Mereka seperti… menyimpan ingatan.”

Mbah Karta diam lama, pandangannya menerobos ke dalam tanah. “Tanah ini memang tidak pernah lupa. Tapi ingatan tanah kadang pahit. Kau yakin mau mendengarnya?”

Laras terdiam. Pertanyaan itu bukan sekadar peringatan, tapi juga sebuah ujian. Ia mengangguk pelan. “Kalau pahit, tetap harus didengar. Supaya kita tahu apa yang harus diperbaiki.”

Mbah Karta tersenyum miring, seperti orang tua yang tahu anaknya akan menghadapi sesuatu yang berat. “Ya sudah. Hati-hati, Nduk.”

***

Beberapa hari kemudian, Laras menetap di rumah panggung peninggalan orang tuanya di tepi hutan. Di ruang tamu yang beraroma kayu tua, ia memasang alat perekam suara, mikroskop portabel, dan kabel-kabel sensor. Setiap malam ia keluar membawa lampu kepala dan buku catatan, berjalan sendirian di bawah pepohonan.

Suatu malam, saat ia sedang memeriksa spora di pangkal pohon, ia mendengar suara orang mendekat. Seorang lelaki muda dengan jaket hitam muncul, wajahnya cerah penuh rasa ingin tahu.

“Kamu Laras, ya? Peneliti dari kota itu?” tanyanya ramah.
“Iya. Kamu?”
“Aku Raka. Aku sutradara teater. Aku dengar kamu meneliti jamur yang bisa… apa itu? Mengingat?”
Laras terkesiap. “Dari mana kamu tahu?”
“Dari kepala dusun. Aku sedang mencari inspirasi pertunjukan. Katanya kamu punya cerita aneh tentang jamur di hutan.”

Raka duduk di akar pohon, menatap Laras dengan mata berbinar. “Coba ceritakan.”

Laras awalnya ragu, tapi kemudian menjelaskan tentang bagaimana mikoriza di bawah tanah membentuk jaringan rumit, berbagi nutrisi, dan—berdasarkan riset barunya—menyimpan sinyal kimia yang menyerupai memori.
“Kadang ketika jamur berbuah, sinyal itu muncul sebagai cahaya atau getaran yang bisa terekam,” jelasnya.

Raka mengangguk-angguk. “Luar biasa. Bayangkan kalau kita tampilkan ini di panggung. Teater bukan lagi hanya manusia yang bercerita, tapi tanah yang ikut bicara.”

Laras tertawa kecil, getir. “Hati-hati, Mas. Ingatan tanah tidak selalu indah.”

“Justru itu menarik! Teater adalah luka yang dibuka supaya sembuh.”

Kalimat itu membuat Laras terdiam. Luka yang dibuka… Apakah hutan ini memang menyimpan luka sebesar itu?

***

Beberapa hari berikutnya, Raka sering datang ke hutan bersama Laras. Ia membantu memasang lampu-lampu kecil, merekam suara-suara aneh dari tanah. Mereka berdua mulai menemukan pola: ketika spora jamur tertentu ditekan pelan, cahaya berubah menjadi merah samar dan terdengar suara samar seperti orang berlari. Ketika spora lain disentuh, terdengar suara perempuan menyanyi dengan lirih.

Suatu sore, Raka mengajak Laras ke balai desa untuk bertemu warga. Ia mempresentasikan idenya: pertunjukan teater alam, dengan panggung terbuka di tepi hutan, di mana jamur-jamur bercahaya akan menjadi bagian dari pementasan.
“Ini bukan sekadar hiburan,” kata Raka dengan semangat. “Ini cara hutan berbicara pada kita.”

Namun ruangan itu hening. Beberapa warga saling pandang. Seorang ibu tua tiba-tiba berdiri. “Jangan usik hutan itu! Jangan kalian keluarkan suara-suara itu!”
“Kenapa, Bu?” tanya Raka bingung.
Ibu itu menangis, wajahnya basah air mata. “Karena kami pernah berdosa di sana… dan kami sudah berusaha melupakannya.”

Laras menatapnya lekat-lekat. “Apa yang terjadi di masa lalu?”

Tak ada yang menjawab. Suasana tegang. Pak Lurah menutup pertemuan dengan suara berat. “Kalau kalian ingin tetap meneliti, hati-hati. Tanah itu menyimpan rahasia besar.”

***

Malam-malam berikutnya, Laras mendengar lebih banyak suara dari jamur-jamur itu: teriakan, suara api berderak, tangisan anak-anak. Ia mulai menggabungkan potongan-potongan itu dengan cerita samar dari masa kecilnya—tentang suatu masa ketika hutan terbakar hebat dan warga beramai-ramai membuka lahan baru.

Raka semakin bersemangat, justru ketika Laras mulai ketakutan.
“Kita harus tampilkan ini!” seru Raka. “Ini bukan hanya teater, ini pengakuan!”
“Tapi orang-orang di desa belum siap, Raka. Ini luka mereka!”
“Laras… kalau kita terus menutup luka, bagaimana bisa sembuh?”

Laras memejamkan mata. Ia ingat wajah Mbah Karta yang penuh misteri. “Aku butuh bicara dengan Mbah Karta.”

***

Mbah Karta duduk di beranda rumahnya yang sederhana, ditemani suara jangkrik dan nyala lampu minyak. Laras datang dengan langkah gugup.

“Mbah… dulu, hutan ini pernah dibakar, ya?”
Orang tua itu tak langsung menjawab. Ia menghirup asap rokoknya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Iya, Nduk. Dulu, orang-orang ingin cepat kaya. Mereka bakar hutan untuk tanam sawit. Banyak yang mati. Banyak yang hilang.”
“Dan sekarang… tanah ini menyimpan ingatan itu?”
Mbah Karta menatapnya tajam. “Tanah selalu ingat. Jamur-jamur itu akar dari ingatan. Kau korek-korek, luka lama keluar.”

Laras menunduk. “Kalau aku lanjutkan pertunjukan ini… apa salah?”
“Tidak salah kalau niatmu baik. Tapi siapkah kau menampung tangis yang keluar?”

***

Hari pertunjukan tiba. Raka sudah menyiapkan panggung alami dengan lampu redup, kursi-kursi dari batang bambu, dan jamur-jamur bercahaya di sekelilingnya. Warga desa datang dengan rasa penasaran sekaligus takut. Di kejauhan, hutan berkilau seperti menyimpan bintang-bintang kecil.

Pertunjukan dimulai dengan tarian-tarian yang menggambarkan siklus hidup pohon dan jamur. Musik gamelan pelan mengalun. Penonton mengangguk-angguk, tersenyum tipis.

Lalu Raka memberi isyarat. Laras menekan salah satu wadah jamur yang sudah ia pelajari selama berbulan-bulan. Cahaya hijau memancar lebih terang. Suara samar muncul: suara anak-anak bernyanyi. Penonton tertegun.

Jamur berikutnya ditekan. Suara beralih menjadi jeritan. Cahaya berubah merah samar. Penonton saling pandang, mulai gelisah.

Jamur ketiga ditekan. Suara api berderak, teriakan orang-orang, doa-doa yang terputus. Wajah-wajah tua di bangku depan memucat. Seorang bapak berdiri, matanya berkaca-kaca. “Hentikan!” teriaknya. “Cukup!”

Tapi Raka sudah larut dalam momen. “Lihat! Tanah ini bicara! Dengarkan!”
“Apa kau mau membuka aib kami di hadapan semua orang?” bentak yang lain.
“Ini bukan aib, ini kebenaran!” jawab Raka lantang.

Suasana ricuh. Beberapa orang maju hendak mematikan lampu dan memaksa Raka turun dari panggung. Anak-anak menangis, orang-orang berteriak. Laras berdiri di tengah kekacauan, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat Mbah Karta berjalan perlahan ke panggung, tongkatnya menghentak tanah.

“Cukup!” suaranya berat, menguasai malam. “Tanah sudah bicara. Terserah kalian, mau dengar atau tutup telinga.”

Hening mendadak jatuh. Orang-orang terdiam, hanya terdengar suara jangkrik dan napas tersengal. Beberapa orang tua menangis, saling merangkul. Seorang lelaki paruh baya berbisik, “Maafkan kami, hutan… maafkan kami…”

***

Beberapa hari setelah malam itu, desa seperti berjalan di atas bara. Ada yang merasa marah karena luka lama dibuka, ada yang merasa lega karena rahasia tak lagi membebani. Laras duduk di pinggir sungai, matanya menerawang. Raka menghampiri, wajahnya lelah.

“Aku pikir aku sudah melakukan hal yang benar,” kata Raka lirih.
“Benar atau salah, kita sudah membuka pintu,” jawab Laras. “Tapi mereka butuh waktu untuk menerima.”

Mbah Karta datang membawa secangkir kopi. “Tanah tidak marah, Nduk. Ia hanya mengingat. Tugas kalian mendengar dan merawatnya.”

Laras memandang jamur-jamur di tepi sungai yang berpendar pelan. “Mungkin… teater berikutnya bukan untuk membuka luka, tapi untuk membantu mereka sembuh.”

Raka mengangguk, mata penuh tekad baru. “Teater penyembuhan. Ya… aku akan menulisnya.”

Malam itu, di bawah cahaya bintang dan sinar jamur, Laras merasa untuk pertama kalinya ia bukan hanya peneliti, tapi juga bagian dari ingatan tanah itu sendiri.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?